Jumat, 22 Oktober 2010

Sekolah Idaman Siswa

Sekolah adalah tempat dimana terjadinya proses belajar mengajar antara siswa dengan guru. Siswa adalah seseorang yang menerima ilmu pengetahuan dari seorang guru. Sedangkan guru adalah seseorang yang memberikan ilmu pengetahuan kepada siswa. Di sekolah, terjadi transfer ilmu dari guru kepada siswa sehingga siswa yang semula tidak memiliki ilmu pengetahuan menjadi mendapatkan ilmu pengetahuan.
Namun, untuk menciptakan suasana yang kondusif dalam proses belajar mengajar di sekolah, sekolah tersebut harus menjadi idaman bagi para siswanya, sehingga siswa betah dan nyaman untuk menuntut ilmu di sekolah tersebut. sekolah benar-benar menjadi tempat dimana siswa-siswa dapat menuntut ilmu dengan baik.


Ada beberapa kriteria sekolah idaman siswa, antara lain :
1. Guru memiliki kompetensi dan kemampuan mengajar yang memadai untuk setiap mata pelajaran yang diampunya. Guru yang memiliki standar yang baik, tentunya akan mampu mentransfer ilmu yang dimilikinya kepada siswa dengan baik.
2. Biaya sekolah terjangkau oleh setiap lapisan masyarakat, sehingga dapat memberikan kesempatan yang sama kepada setiap peserta didik.
3. Memiliki sarana dan prasarana sekolah yang cukup, sehingga dapat meningkatkan semangat setiap siswa untuk belajar. Dengan sendirinya suasana akademik yang kondusif di sekolah idaman tersebut akan tercipta. Seperti adanya perpustakaan yang lengkap, laboratorium, lapangan upacara, ruang multimedia, taman sekolah, lapangan bola, dan lain-lain.
4. Sekolah memiliki kurikulum yang bertaraf internasional. Dengan adanya kurikulum yang bertaraf internasional, siswa-siswa akan memiliki kompetensi yang sama dengan siswa-siswa di luar negeri, sehingga jika ada pertukaran pelajar atau pada saat siswa tamat sekolah, maka siswa tersebut tidak mengalami kesulitan untuk melanjutkan ke sekolah manapun, baik di tingkat nasional maupun intrnasional.
5. Sekolah yang berwawasan lingkungan hidup.
Sekolah yang berwawasan lingkungan adalah sekolah yang mengajarkan tentang pentingnya mengelola dan melestarikan lingkungan hidup untuk menjaga kelestarian alam. Adanya pemahaman warga sekolah yang baik tentang pentingnya melestarikan lingkungan dapat menjadikan sekolah sebagai tempat yang baik, ideal dan nyaman untuk menuntut ilmu.
6. Sekolah berbasis agama.
Sekolah mampu membuat dan melaksanakan program yang berbasis agama sehingga dapat meningkatkan keimanan dan ketakwaan siswa-siswanya. Seperti kegiatan ceramah agama atau pembacaan Surah Yasiin setia hari Jum’at.
7. Adanya hubungan yang erat antar sesama siswa, antara siswa dengan guru dan antar warga sekolah lainnya.
8. Metode pengajaran sekolah yang praktek dan teori. sehingga siswa tidak hanya mencatat (pasif) tetapi juga dapat kritis (aktif).
9. Jumlah siswa setiap kelas maksimal 30 orang.
10. Sekolah yang mampu menggambarkan profil lulusan.
Profil lulusan sekolah merupakan kompetensi lulusan yang diharapkan sekolah tersebut. Sekolah wajib menetapkan indikator hasil yang diharapkan pada 8 aspek yang menjadi sasaran pengelolaan pendidikan nasional; yaitu membentuk manusia yang :
1. beriman, bertakwa dan berahlak mulia;
2. sehat jasmani dan rohani;
3. berilmu;
4. cakap;
5. kreatif;
6. mandiri;
7. demokratis;
8. bertanggung jawab.
11. Sekolah yang dapat merumuskan strategi untuk mewujukan target mutu lulusan
Deskripsi mutu lulusan yang jelas merupakan komponen penting dalam menentukan standar guru. Analisis ini berfungsi sebagai panduan untuk menentukan pemenuhan kriteria standar guru yang sekolah harapkan.
Sebagai contoh, jika suatu sekolah hendak meningkatkan keimanan dan ketakwaan warga sekolahnya, maka sekurang-kurangnya sekolah harus memiliki guru yang dapat meningkatkan pengetahuan dan keterampilan beribadah yang mutunya sesuai dengan target.
12. Mutu lulusan yang diharapkan sekolah sesuai dengan mutu gurunya
Semakin tinggi cita-cita yang hendak sekolah wujudkan, semakin tinggi pula mutu guru yang dibutuhkan.
13. Sekolah mampu mengembangkan kompetensi guru dan siswanya.
Cara mengembangkan kompetensi guru :
1. Melalui pendidikan dan pelatihan (off the job training). Guru dilatih secara individual maupun dalam kelompok untuk meningkatkan pengetahuan dan keterampilan terbaik dengan menghentikan kegiatan mengajarnya sementara.
2. Adanya magang bagi guru baru untuk mengikuti guru-guru yang sudah dinilai baik sehingga guru baru dapat belajar dari seniornya. Pemagangan dapat dilakukan pada ruang lingkup satu sekolah atau pada sekolah lain yang memiliki mutu yang lebih baik.
3. Adanya kolaborasi guru dalam memperbaiki kinerja mengajarnya dengan berkonsentrasi pada studi tentang dampak positif guru terhadap kinerja belajar siswa dalam kelas. Siswa dipacu untuk menunjukkan prestasinya, namun di sisi lain guru juga melaksanakan proses belajar untuk memperbaiki pelaksanaan tugasnya.
4. Melakukan perbaikan melalui kegiatan penelitian tindakan kelas (PTK). Kegiatan ini dilakukan guru dalam kelas dalam proses pembelajaran. PTK dapat dilakukan sendiri dalam pelaksanan tugas, melakukan penilai proses maupun hasil untuk mendapatkan data mengenai prestasi maupun kendala yang siswa hadapi serta menentukan solusi perbaikan. Karena perlu ada solusi perbaikan, maka PTK sebaiknya dilakukan melalui beberapa putaran atau siklus sampai guru mencapai prestasi kinerja yang diharapkannya.
Untuk mendukung sukses peningkatan kompetensi guru melalui berbagai empat model strategi di atas diperlukan (1) Tujuan pembelajaran harus jelas, artinya guru perlu memahami benar-benar prilaku siswa yang guru harapkan sebagai indikator keberhasilan. (2) Indikator proses dan hasil pada tiap tahap kegiatan terukut. (3) Melalui cara yang tertentu yang jelas siklusnya pentahapannya (4) Jelas struktur pengorganisasian kegiatannya. (5) Memiliki pengukuran keberhasilan.
14. Sekolah yang kepemimpinannya jelas dan positif
15. Sekolah yang bagus ada pemimpin formal dan informal.
16. Sekolah yang baik harus aman
17. Sekolah yang bagus adalah sekolah bersih.
18. Sekolah yang baik menghargai ‘pendatang baru’ dan mereka para ‘pendahulu’














Biodata Penulis

Nama : Andriyani
Kelas : X
Sekolah : SMA Negeri 8 Pekanbaru
Tempat / Tanggal Lahir : Pekanbaru / 9 Desember 1994
Alamat : Jl. Sukakarya Gg. Akasia No. 14
No HP : 085658005894
Selengkapnya...

Busana melayu Riau

Pantangan dan larangan dalam berpakaian
Pantang larang adalah sejumlah larangan atau pantangan yang ditetapkan oleh ajaran islam, adat isstiadat budaya melayu yang diberlakukan bagi siapa saja yang memakai pakaian melayu

1. Pantang membuka aurat
Membuka aurat dilarang karrena dianggap merendahkan harkat dan martabat kemanusiaan, melanggar akidah islam dan ketentuan adat istiadat melayu
2. Pantang terlalu tipis
Karena menyebabkan tubuh pemakainya tembus pandang terutama bagi kaum perempuan
Menebang kayu dihulu lading
Hari petang balik ke pondok
Pantang melayu berbaju jarang
Berbaju jarang akhlaknya buruk
3. Pantang terlalu ketat
Karena menampakkan lekuk liku tubuh pemakainya sehingga menimbulkan godaan bagi kaum laki- laki dan mendorong tindak criminal

Jangan berguru ilmu tidak dapat
Kalaupun tamat tidakkan mudah
Pantang melayu berbaju ketat
Berbaju ketat menjatuhkan marwah

Jenis pakaian melayu
1. Pakaian Laki- laki
Umumnya memakai pakaian tekluk belanga. Diatas teluk belanga dipakai pula kai songket atau kain ketat. Sedangkan tutup kepala dipakai kopiah atau peci. Sedangkan orang bangsawan atau raja menggunakan semacam kuluk yang dalam bahasa daerahnya disebut tanjak. Kaum priaa memakai sandal kelingkan. Warna pakaian yang disukai hitam. Bahannya sutra atau satin.

2. Pakaian wanita
Memakai baju kurung yang berpesak dibawah lengan dan sibar pada kedua sisinya . dan juga mereka memakai baju kebaya panjang yang disebut kebaya labih . dasar baju kebaya ini sama saja dengan baju kurung. Perbedaannya hanya terdapat pada belahan dimuka pada kebaya terus sampai kebawah sehingga membagi bagian muka itu menjadi dua bagian, lengan tetap berpesak pada bagian ketiaknya. Sibar pada kebaya labih dihilangkan. Pakaian ini memakai selendang, pada kebaya panjang baju ditutup pada bagian mukanya dengan peniti atau semat. Yang biasanya banyaknya tiga buah. Bentuknya bundar serta satu sama lain tidak dihubungkan dengan rantai seperti sekarang. Sedangkan untuk sarung selalu menggunakan kain songket dan untuk menutup kepala dahulu mereka menggunakan songket bukan selendang. Alas kaki yang digunakan selop kelingkan, sanggulnya dipakai agak tinggi dan bundar dan dihiasi dengan untaian bayangan tanjung, daun cermin, bunga cempaka atau kenanga. Untaian bunga tanjung biasanya dibuat melingkar disekitar sanggul dan kenanga atau cempaka selalu diletakkan di pinggir sanggul yang ditambah dengan daun cemrinin. Menyelipkan bunga pada sanggul itu dinamakan “menyunting”.
Permasalahan
1. Perempuan memakai jilbab namun pakaiannya sangat ketat
2.
Saran
1. Dengan menanamkan pemahaman yang kuat pada generasi muda, untuk berpakaian sesuai dengan syariat islam dan adat melayu tentunya dapat menjadi filter terhadap budaya asing
2. Mensosialisasikan nilai- nilai positif pakaian melayu melalui media baik cetak maupun elektronik yang dapat ditampilkan dalam berbagai wacana pubilk yang menarik sehingga citra positif pakaian melayu dapat terbentuk
3. Upaya yang dilakukan harus secara terus menerus

Latar belakang
Adat istiadat melayu berpangkal pada kerajaan-kerajaan melayu yang ada di provinsi Riau seperti Kerajaan Siak, Kerajaan Indragiri, Kerajaan Riau Lingga, Kerajaan Pelalawan, Kerajaan Kampar, Kerajaan Rambah, Kerajaan Gunung Sailan dan Kerajaan Rokan yang berpuncak dari Malaka dan Johor. Adat istiadat yang berlaku didaerah melayu adalah “Adat bersendikan syarak, syarak bersendikan kitabullah dan sunnah Nabi”. Artinya : adat melayu berpedoman pada Al-Qur’an dan Sunnah. Maka adat yang tidak bersendikan sarak atau syariat Islam tidak dibenarkan berlaku di negeri melayu. Oleh karena itu, pakaian yang dikenakan oleh orang melayu harus sesuai dengan syariat Islam, yaitu longgar, tidak tipis dan nyaman. Namun, generasi muda selalu beranggapan bahwa pakaian melayu ketinggalan zaman.
Di Riau, mulai dari bangunan hingga nama jalan indentik dengan melayu, khusunya bangunan pemerintahan dan museum. Pada bangunan ditandai dengan adanya selembayung pada tiap atap bangunan. Pakaian melayu harus dipakai oleh semua kalangan mulai dari tingkat pendidikan TK sampai SLTA baik negeri maupun swasta, yaitu dengan memakai pakaian melayu yang modelnya ditentukan oleh sekolah dan dipakai pada hari jum'at. Bukan hanya pelajar tapi juga pegawai negeri, diharuskan memakai baju melayu ini. Pakaian melayu menggunakan beberapa motif khas melayu, mulai dari songket hingga batik melayu.
Ungkapan adat :
1. Adat memakai pada yang sesuai, adat duduk pada yang elok, adat berdiri tahukan diri artinya setiap orang harus meletakkan sesuatu pada tempatnya seperti memakai pakaian sesuai pakaiannya, yang memakainya, cara memakainya, tempat memakainya dan ketentuan-ketentuan adat.
2. Elok baju karena sejutdu, elok pakaian karena sepadan artinya orang yang memakai pakaian melayu harus menampakkan sikap terpuji, sehingga tidak merendahkan martabat melayu yang dipakainya.
3. Apabila membuka aurat, tandanya tidak beradat artinya berpakaian tidak boleh membuka aurat.
4. “Syarak menyatakan, adat memakai”. Artinya : segala ketentuan syarak harus ditaati orang Melayu
Ungkapan diatas bermakna agar orang yang memakai pakaian melayu tahu diri dan tahu menjaga marwah.
Saran
1. Mensosialisasikan busana melayu yang benar di sekolah dari TK sampai Perguruan Tinggi dan masyarakat umum karena banyak kesalahan dalam berpakaian melayu yang benar seperti, tidak berkain samping, tidak berkopiah dan baju koko dijadikan baju melayu.

tanjak ikatan dt. Bintara (dt. Bendahara)
bappeda provinsi riau dan balai pengkajian, penelitian kebudayaan, kesenian dan pariwisata provinsi riau.
Selengkapnya...

Taman Nasional Tesso Nilo (TNTN)

1. Sejarah
Tahun 1986 areal hutan di Provinsi Riau seluas ± 9.456.160 ha ditunjuk sebagai kawasan hutan, diantaranya terdapat Kelompok Hutan Tesso Nilo seluas 38.576 ha di Kabupaten Pelalawan dan Indragiri Hulu yang berada pada kawasan Hutan Produksi Terbatas, yang merupakan areal HPH PT. Inhutani IV yang telah dicabut izinnya oleh Menteri Kehutanan pada Agustus 2003, karena akan diubah fungsinya menjadi Taman Nasional Tesso Nilo yang diresmikan pada 19 Juli 2004 (berdasarkan Keputusan Menteri Kehutanan RI No. 255/MENHUT-II/2004). Namun, sampai sekarang di sekeliling taman ini masih terdapat kawasan HPH.



2. Geologi dan tanah
Menurut Verstappen (1973), bagian Timur kawasan ini berupa rawa dataran rendah, sedangkan bagian Baratnya adalah dataran rendah. Ciri kondisi litologinya adalah bahan organik semi lapuk yang berasal dari gambut tropis zaman kuarter, batuan pasir Kaolinit, batuan liat dan tufa asam yang sudah mengalami proses pelapisan sedimen dari zaman kuarter (Lamonier, 1997). Penggolongan tanah oleh USDA, jenis tanah yang mendominasi adalah Tropohemist (sekarang Haplohemist) dan Paleudults.




3. Topografi dan Iklim
Topografi relatif datar dan sedikit bergelombang dengan kemiringan 10º – 15º dan ketinggian tempat 100 – 200 mdpl. Tipe iklim sangat basah dengan jumlah curah hujan tahunan 2000 – 3000 mm.

4. Lokasi
Terletak di Kabupaten Pelalawan dan Kabupaten Indragiri Hulu, Provinsi Riau (01º 17′ – 03º 36′ LS dan 101º 31′ – 102º 44′ BT). Kawasan ini melintang pada garis equator di antara Pangkalan Kuras (Kabupaten Pelalawan) dan Lipat Kain (Kabupaten Kampar).
Kawasan hutan Tesso Nilo dapat ditempuh melalui jalan darat dari Kota Pekanbaru selama ± 5 jam melalui jalan koridor milik PT. Riau Andalas Pulp and Paper, yaitu jalan logging yang digunakan untuk mengangkut kayu tebangan. Oleh karena itu, pemerintah provinsi Riau berencana untuk memutus jalan ini agar mengurangi kegiatan pembalakan liar.
Selain itu, untuk mencapai lokasi TNTN, dapat dilakukan dengan kendaraan umum atau pribadi dengan perjalanan selama 3 jam menuju pintu masuk TNTN di Ukui II, Pelalawan, Riau. Dari pintu masuk menuju TNTN dapat menggunakan angkutan desa menuju Desa Lubuk Kembang Bunga dengan waktu perjalanan sekitar 1 jam.

5. Flora
Flora TNTN merupakan transisi dataran rendah dan tinggi dengan keanekaragaman hayati yang tinggi. Terdapat 360 jenis flora yang tergolong dalam 165 marga dan 57 suku. Flora yang dilindungi dan terancam punah seperti kayu bata (Irvingia malayana), kempas (Koompasia malaccensis), jelutung (Dyera costulata), kayu kulim (Scorodocorpus borneensis), tembesu (Fagraea fragrans), gaharu (Aquilaria malaccensis), ramin (Gonystylus bancanus), keranji (Dialium sp.), meranti (Shorea sp.), keruing (Dipterocarpus sp.), dan beberapa jenis durian (Durio sp.).
Selain itu, juga terdapat 82 jenis tanaman obat. Diantaranya kunyik bolai (Zingiber purpureum), jarangau (Acorus calamus), lengkuas putih (Alpina galanga), akar bulu (Argyreia capitata), sundik langit (Amorphopalus sp.), akar kayu kuning (Lepionurus sylvestri ) yang merupakan obat penyakit kuning, dan Patalo atau pasak bumi (Eurycoma longifolia) sebagai obat malaria dan obat kuat, biasanya akarnya dicampur dengan janin kijang yang diambil dari kandungan induknya kemudian direndam dengan alkohol.
Hutan alam taman ini, menyimpang berbagai jenis kayu seperti Kayu Batu (Irvingia malayani), Kempas (Koompasia malacennsis), Jelutung (Dyera polyphylla), Tembesu (Fagraea fragrans), Gaharu (Aqualaria malacensis), Ramin (Gonystylus bancanus), Meranti-merantian (Shorea Sp.) dan Kruing (Dipterocarpus sp.).
6. Fauna
Fauna taman ini merupakan habitat bagi tiga persen dari seluruh mamalia di dunia. Terdapat 114 jenis burung, 33 jenis herpetofauna, 644 jenis kumbang, 23 jenis mamalia, 3 jenis primata, 15 jenis reptilia, 18 jenis amfibia dan berbagai jenis serangga. TNTN juga merupakan kawasan konservasi gajah dengan 60-80 ekor gajah. Pengunjung dapat mengelilingi taman ini sambil menunggangi gajah atau ikut berpatroli bersama tim Flying Squad. Pengunjung yang ingin memacu adrenalinnya dapat secara langsung menggiring gajah-gajah liar ke habitatnya. Pengunjung juga dapat menjumpai jejak-jejak harimau Sumatera, tapir, beruang, macan dahan dan lainnya.
Kawasan ini dibelah oleh 2 sungai, Sungai Tesso dan Nilo. Sungai tersebut memiliki potensi perikanan sekitar 50 jenis ikan. 31 jenis ikan di keluarga genera, 16 familia dan 4 ordo. Sedangkan fauna langka yang dilindungi di TNTN adalah Beruang Madu, Tapir, Ungko, Lutung Budeng, Macan Dahan, Berang-berang, Babi Hutan, Burung Rangkong, Kuaw dan lain-lain.
1. Mamalia
Seperti harimau sumatera (Panthera tigris sumatrae), macan dahan (Neofelis nebulosa), beruang madu (Helarcos malayanus), rusa (Cervus unicolor), kijang (Muntiacus muntjak), kancil (Tragulus javanicus), babi hutan (Sus sp.), tapir (Tapirus indicus), dan bajing (Callosciurus .).
2. Burung
Seperti beo Sumatera (Gracula religiosa), burung kipas (Rhipidura albicollis), elang ular (Spilornis cheela), alap-alap capung (Microchierax fringillarius), kuau (Argusianus argus), burung udang pungung merah (Ceyx rufidorsa), julang jambul hitam (Aceros corrugatus), kangkareng hitam (Anorrhinus malayanus), rangkok badak (Buceros rhinoceros), ayam hutan (Gallus gallus), dan betet ekor panjang (Psittacula longicauda).
3. Primata
Seperti owa (Hylobates la agilis), lutung simpai (Presbytis femoralis), dan beruk (Macaca nemestrin ),
4. Reptil
Seperti ular kawat atau ular hitam (Ramphotyphlops braminus), ular kopi (Elaphe flavolineata), Ular picung air (Xenochrophis trianguligerus), ular cabe kecil (Maticora intestinalis), ular sendok, ular kobra (Ophiphagus hannah), sanca sawah (Python reticulatus), ular gendang/phyton darah sumatera (Python curtus), dan buaya sinyulong (Tomistoma schlegeleii).
5. Amphibia
Seperti katak serasah berbintik (Leptobrachium hendricksoni), kodok buduk sungai (Bufo asper), kodok buduk (B. melanostictus), katak lekat (Kalophrynus pleurostigma), percil bintil (Microhyla heymonsi), katak sawah (Fejervarya cancrivora), katak kangkung (Limnpnectes malesianus), katak batu (L. macrodon), bancet rawa sumatera (Occodozyga sumatrana), kongkang kolam (Rana chalconota), kongkang gading (R. erythraea), kongkang kasar (R. glandulosa), kongkan racun (R. hosii), kongkang jangkrik (R. nicobariensis), dan kongkang sungai totol (R. signata).
6. Ikan
Jenis ikan yang paling melimpah adalah ikan pantau (Rasbora bankanensis), ikan baung (Hemibagrus nemurus) yang merupakan ikan konsumsi yang terkenal di daerah Riau dan Jambi, ikan julung-julung (Hemirhampodon), dan ikan segitiga (Rabora heteromorpha) yang merupakan ikan hias.
7. Keistimewaan
Kawasan TNTN seluas ± 38.576 ha merupakan langkah awal untuk mewujudkan TNTN seluas ± 185.000 ha yang akan menjadi habitat bagi pelestarian Gajah Sumatera di masa mendatang. Hutan Tropis di TNTN menyimpan berjuta flora dan fauna yang sulit ditemukan di belahan dunia lainnya. Dengan kawasan tutupan vegetasi mencapai 90 %, TNTN memiliki potensi flora dan fauna yang paling besar dan terbanyak di dunia., yaitu 215 jenis pohon dari 48 famili dan 305 jenis dari 56 famili. Ditemukan juga 82 jenis tumbuhan obat-obatan yang terdiri dari 78 marga yang masuk dalam 46 famili dengan kasiat mampu mengobati 38 jenis penyakit, dan 4 jenis tumbuhan racun ikan.
Bahkan, menurut peneliti asal Inggris, Andrew N Gillison, TNTN memiliki keanekaragaman hayati terbesar dan terbanyak jenisnya di seluruh dunia. Ia memetakan setiap 200 km2 hutan memiliki 218 species vegetasi.
Survey Puslit Biologi LIPI mengidentifikasikan 34 jenis mamalia, 18 jenis diantaranya adalah satwa yang dilindungi dan 16 jenis lainnya rawan punah berdasarkan IUCN.


8. Potensi Wisata
• Wisata eksotis hutan tropis, baik dilakukan dengan menyusuri sungai maupun jalan eks logging.
• Wisata pengamatan burung, flora dan fauna, mengikuti patroli gajah bersama tim flying squad serta menyaksikan upacara pengambilan madu di pohon Sialang oleh masyarakat lokal.
• Atraksi kehidupan gajah liar dan atraksi satwa lainnya.
• Panorama hutan.

9. Pengelolaan
Pengelolaan dilakukan dengan sistem zonasi yang diselenggarakan oleh Balai Konservasi SDA Riau sebagai Unit Pelaksana Teknis Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam, Departemen Kehutanan, yaitu :
1. Zona inti
2. Zona pemanfaatan
3. Zona rimba yang ditetapkan Menteri berdasarkan kebutuhan pelestarian SDA hayati dan ekosistemnya.

10. Manfaat

Zona inti :
1. penelitian dan pengembangan yang menunjang pemanfaatan
2. ilmu pengetahuan
3. pendidikan
4. kegiatan penunjang budidaya
Zona pemanfaatan :
1. pariwisata alam dan rekreasi
2. penelitian dan pengembangan yang menunjang pemanfaatan
3. pendidikan dan atau
4. kegiatan penunjang budidaya
Zona rimba :
1. penelitian dan pengembangan yang menunjang pemanfaatan
2. ilmu pengetahuan
3. pendidikan
4. kegiatan penunjang budi daya
5. wisata alam terbatas.
Selengkapnya...

Rabu, 20 Oktober 2010

Badan POM: Rokok Elektronik Tidak Aman

Metrotvnews.com, Jakarta: Badan Pengawasan Obat dan Makanan memperingatkan masyarakat bahwa rokok elektronik yang telah beredar di beberapa kota adalah produk ilegal dan tidak aman.


"Produk ini belum diuji klinis oleh karena itu berbahaya. Badan Kesehatan Dunia (WHO) juga telah menyatakan produk ini tidak aman dikonsumsi, merekomendasikan untuk melarang peredarannya," papar Direktur Pengawasan NAPZA Badan POM Danardi Sosrosumihardjo di Jakarta, Jumat (6/8).

Rokok elektronik atau "Elecronic Nicotine Delivery Systems" (ENDS) dipasarkan sebagai pengganti rokok dan diklaim tidak menimbulkan bau dan asap.

Bentuknya seperti batang rokok biasa, tetapi alih-alih membakar daun tembakau, seperti produk rokok konvensional, ENDS membakar cairan menggunakan baterai dan uapnya itu masuk ke paru-paru pemakai.

Produk itu dipasarkan dengan banyak nama, di antaranya rokok elektronik, ecigarro, electro-smoke, green-cig, dan smartsmoker.

Danardi mengatakan pihaknya telah mendapatkan laporan dari berbagai wilayah, antara lain Makasar, Semarang, Lampung, dan Palembang, mengenai beredarnya produk ilegal tersebut dan telah melakukan koordinasi dengan Kementerian Perdagangan untuk penertiban.

"Karena ilegal, Badan POM tidak dapat melakukan pengawasan. Produk ini juga belum terdaftar sebagai rokok sehingga tidak dapat ditertibkan oleh Bea Cukai," papar Danardi.

Dalam sebuah leaflet atau selebaran, salah satu produk tersebut yang bernama Rokok Elektrik Surabaya memasarkan dua jenis rokok, yakni berwarna hitam dan hijau.

Rokok warna hitam dijual seharga Rp190 ribu dan warna hijau seharga Rp160 ribu. Produk itu juga mengklaim telah mendapatkan sertifikat internasional dan nasional yang dibantah keras oleh Badan POM.

"Produk ini belum didaftarkan di Indonesia. Di banyak negara juga beredar secara ilegal. China dan Hong Kong sekarang sudah melarang karena dianggap beracun," kata Danardi.

Industri ENDS disebutnya tidak secara jelas mengungkapkan kombinasi bahan kimia yang dimasukkan selama proses pembuatan. "Jumlah industri juga tidak jelas, tapi dari pencarian internet paling sedikit terdapat 24 perusahaan yang berizin dan lebih banyak merek dan modelnya," papar Danardi.

Badan POM Amerika Serikat, FDA pada Mei 2009 lalu melakukan analisis terhadap rokok tersebut dan menguji kandungan e-cigarette dari dua perusahaan. Hasilnya adalah ditemukan adanya kandungan dietilen glikol dan nitrosamin yang spesifik dalam tembakau.

Studi FDA juga menunjukkan ketidakkonsistenan kadar nikotin dalam wadah dengan label yang sama. Bahkan, dalam wadah ENDS berlabel tidak mengandung nikotin masih ditemukan nikotin.

"The World Health Organization" (WHO) pada September 2008 telah menyatakan bahwa mereka tidak menyetujui dan tidak mendukung rokok elektronik dikonsumsi sebagai alat untuk berhenti merokok.

Pada 6-7 Mei 2010 lalu, WHO kembali mengadakan pertemuan membahas mengenai peraturan terkait keselamatan ENDS dan menyatakan bahwa produk tersebut belum melalui pengujian yang cukup untuk menentukan apakah aman dikonsumsi.

Atas pertimbangan itu, maka Badan POM menyarankan agar produk tersebut dilarang beredar, dan kepada masyarakat agar tidak mengonsumsi produk alternatif rokok tersebut. "Kami ingin mengatakan kepada masyarakat, produk ini tidak aman," kata Danardi menegaskan.(Ant/BEY)
Selengkapnya...

Biobag, Kantong Plastik Ramah Lingkungan

Biobag adalah sejenis kantong plastik yang ramah lingkungan. Adalah perusahaan asal Norwegia yang melakukan inovasi melalui percobaan selama 10 tahun oleh seorang professor asal Norwegia. Hasilnya kantong plastik yang diberi nama Biobag telah digunakan di banyak negara seperti Amerika Serikat, Kanada, Perancis, Inggris, Australia, Norwegia, Singapura, dan Indonesia.

Kemajuan teknologi telah membuktikan bahwa dari bahan baku yang tak pernah terpikirkan sebelumnya kini menjadi bahan sangat berguna. Biobag tak ubahnya dengan kantong plastik pada umumnya. Bentuknya seperti kantong kresek. Bedanya justru yang membuat orang tertarik kepadanya. Ia mampu meredam bau sampah!

Mates-bi

Sebetulnya Biobag sudah diperkenalkan oleh PT Ecotech Indopratama sejak akhir 2006. Menurut Mutaza Sarbini, Direktur Pelaksana Ecotech, seperti dikutip situs Radio Singapore International, rahasia Biobag terletak pada bahan baku yaitu terbuat dari kulit jagung yang disebut mates-bi.

Saat ini Ecotech satu-satunya distributor aneka produk Biobag dari Norwegia untuk kawasan Asia Tenggara. Manfaat Biobag bukan saja membuat sampah menjadi tidak berbau. Tetapi juga telah menghilangkan polusi yang diakibatkan oleh bau sampah tersebut.

Mengapa tidak berbau? Adalah pori-pori yang dimiliki Biobag sehingga memungkinkan sirkulasi udara di dalamnya. Sampah yang disimpan di dalam Biobag tidak mengembun, sesuatu yang menimbulkan jamur berbau busuk. Sampah organik yang dikantongi Biobag tidak membusuk malah mengering.

Keistimewaan ini bisa menghemat biaya karena sampah organik menjadi kering dan menyusut hingga 50% setelah seminggu disimpan. Hebatnya lagi, jika ditumpuk di atas tanah dalam kurun waktu 10-45 hari sampah organik tersebut akan berubah menjadi kompos. Sudah pasti kompos tidak menimbulkan bau busuk yang menusuk hidung.

Konon kompos ini bisa dimanfaatkan untuk pupuk tanaman. Untuk membuktikan kunggulan Biobag, Pemda Bekasi telah melakukan uji coba pemberdayaan Biobag di kawasan Lenteng Agung, Jakarta Selatan pada akhir Desember 2006 lalu dengan cara membagikan kantong Biobag gratis kepada warga setempat. Menurut Mutaza, Biobag ini tidak hanya untuk kantong sampah, namun bisa digunakan untuk menyimpan makanan sehingga bisa tahan lama sampai dua bulan jika dimasukkan ke dalam lemari es.

Ikan atau daging bisa sebelum disimpan di lemari es, bisa dimasukan terlebih dahulu ke dalam Biobag. Uniknya Biobag tidak lengket atau menyatu dengan makanan, sehingga memudahkan proses pencairan bahan makanan yang dibekukan.

Sayang, Biobag yang ramah lingkungan ini masih sulit didapat. Hingga tulisan ini diturunkan, penulis belum mendapatkan alamat PT Ecotech Indopratama sebagai distributor Biobag. Barangkali ada yang tahu dimana bisa diperoleh? (sumber image: www.biobag.co.uk)
Selengkapnya...

Karena Aku dan Tuhanku

Bukan salah Tuhan kita bila banjir dimana-mana
Bukan salah Tuhan kita bila polusi udara di kota kita
Memang Tuhan yang mengkehendaki semuanya
Tapi karena manusia jualah
Bencana datang dan kembali
Siapa pemicunya?

Apakah kita sadar akan hal itu?
Kita semua yang menginjak bumi ini
Kita pula yang menjadi perusak utamanya
Tak pernah tahu malu!
Dan tak pernah berterima kasih
Syukurilah apa yang adaa
Jagalah apa yang kita punya
Karena penyesalan akan terjadi
Setelah kita kehilangan segalanya


*By; Dhia Hana Mufida
Selengkapnya...

KESAKSIAN SANG MALAM

Dewi malam kembali menggantungkan dirinya di langit, menambah ketenangan di malam yang begitu dingin. Dari hamparan rumput tepi sebuah jurang, terdengar perlahan-lahan suara seruling yang begitu merdu sekaligus mencekam batin siapa saja yang mendengar alunannya. Sesosok manusia tampak dari balik sebuah pohon, menatap langit yang berhiaskan butiran-butiran bintang kecil yang berkilauan bagaikan intan yang enggan diraih siapapun.

Suara seruling ini makin keras, menyebabkan para petugas ronda yang lewat daerah itu segera menyingkir dan memegangi leher mereka. Setiap malam bulan purnama, tak ada yang berani menyisiri daerah itu untuk memastikan keadaan lingkungan mereka. Konon, di sana terdapat seorang manusia pohon yang telah menjadi penunggu hutan di samping jurang tersebut.
Cerita yang begitu tidak bisa diterima dengan akal sehat telah menyebar di antara masyarakat setempat, menciptakan sebuah tradisi untuk meletakkan sesajian di bawah sebuah pohon beringin yang telah tua yang berdiri kokoh di sisi mulut jurang. Menurut para tetua, pohon itu pernah membantu para pejuang kemerdekaan bersembunyi dari kejaran pihak penjajah kolonial, sehingga pohon itu begitu dikeramatkan oleh masyarakat daerah tersebut.
Selang beberapa jam setelah kepergian sang petugas ronda, sosok manusia tersebut berdiri, terpaku melihat ke dalam jurang. Suara erangan kecil terdengar, disertai dengan isak tangis wanita. Lama sosok itu menangis, seraya memanggil nama seseorang, “Lintang… Lintang… Lintang….”
***
“Ayo, Ayah. Cepat turun. Aku sudah tidak sabar lagi ingin melihat kamar baruku.”
“Tunggu sebentar. Kalau kamu mau lebih cepat, jangan cuma berdiri saja di sana. Ayo cepat bantu Ayah. Bawa kardus ini ke halaman depan.”
“Tapi, kan, aku ini perempuan, Ayah. Mana sanggup aku mengangkat kardus sebesar itu. Apalagi yang berisi buku-buku tebal Ayah. Bisa-bisa nanti Ayah yang akan kerepotan mengurus aku yang pingsan. Kalau sudah begitu jadinya, masalahnya tak akan selesai lebih cepat. Justru akan bertambah rumit. Ya kan, Ayah?”
“Ya sudahlah, kalau kamu tak mau membantu. Paling tidak, bantu ibumu. Kasihan beliau, sudah empat belas jam ia tak mengubah posisi duduknya karena menggendong adikmu itu. Cepat pergi sana!”
“Ya sudahlah.” Aku kemudian berjalan menuju bagian samping mobil dan membuka pintu mobil bagian kiri.
“Bu, biar aku saja yang jaga adik. Ibu istirahat saja sebentar.”
“Jaga baik-baik, ya. Jangan buat adikmu terbangun. Nanti sulit menidurkannya lagi.” Ibu segera menyodorkan tubuh adikku, yang bisa dikatakan tak kalah besarnya dengan bayi panda. Aku menyambut tubuh gempal itu dengan susah payah. Ibu segera turun dari jok mobil dan merenggangkan tubuhnya serta menarik nafas panjang, menghilangkan seluruh kepenatan yang menyesakkan dada setelah empat belas jam menahannya.
“Ayo cepat masuk. Barang-barangnya sudah selesai Ayah keluarkan semua. Dini, ambilkan kunci rumah di dalam locker mobil. Hati-hati mencarinya.” Dengan cemberut aku kemudian membuka pintu mobil lagi dan mencari kunci yang terselip di antara kotak P3K. Semenit kemudian baru aku bisa mengelurkannya dengan selamat. Ayah sudah mengomel-ngomel dari luar sana. Maklum, kalau saja Ayah bisa melakukannya, beliau pasti akan langsung melakukannya, ketimbang menyuruh anaknya ini, yang terkesan lamban dan lalai di matanya.
Seraya menjaga keseimbangan tubuh segumpal daging berbentuk yang berada di pelukanku, aku kemudian menyocokkan anak kunci dengan kedudukannya. Perlu semenit lagi untuk membuka pintu rumah baruku tersebut. Ketika selesai, aku langsung melihat ke arah Ayah dan tersenyum bagaikan tak bersalah. Muka Ayah sudah memerah, entah karena menahan amarah yang begitu kompleksnya, menahan rasa letihnya, atau menahan sakit di tangannya yang mengangkut begitu banyak barang keseharian kami.
Bruk! Aku menjatuhkan adik di sofa ruang tamu. Seketika itu juga aku terduduk lemas di lantai, merebahkan tubuh dan merenggangkannya. Tanganku mulai berdenyut kesakitan dan sedikit kesemutan karena harus menahan beban seorang bayi yang luar biasa beratnya itu. “Dini! Ayo bantu Ibu membereskan barang-barang ini. Supaya kita masih bisa membersihkan rumah sebelum maghrib.” Membersihkan rumah lagi? Astaga! Aku menepuk kening dan tidak bisa memprotes lebih banyak lagi, karena suaraku seperti sudah dibawa pergi oleh rasa letih yang melanda hingga ke tulang dan uratku.
Dengan enggan aku kemudian berdiri dan berjalan ke arah Ibu. Aku hanya tersenyum kecut melihat timbunan barang yang harus kami susun dalam waktu yang, bisa dikatakan, relatif singkat. “Ibu, aku bereskan dulu, ya, barang-barangku. Setelah itu aku baru bantu Ibu membereskan barang-barang dapur. Bagaimana?” Aku kemudian melirik ke mata Ibu dan tersenyum supaya mengiyakan permohonanku. “Ya terserah kamu saja, deh. Tapi yang cepat, ya. Kalo jadi perempuan, kerjanya jangan lelet.”
“Makasih, Bu.” Aku kemudian meraih dua buah kardus dan mendorongnya menuju sebuah ruangan di ujung sana. Ayah memberikan kebebasan memilih kamar untukku. Sebenarnya, ada empat kamar di rumah baru kami. Namun, aku sudah mengincar kamar yang terletak paling depan semenjak menggendong adik di luar tadi.
Kamar itu sudah bersih dan terasa nyaman. Pak De Rahmad telah membersihkan rumah itu dua hari sebelum kedatangan kami, agar ketika kami tiba, sudah tidak terlalu banyak pekerjaan yang menumpuk, paling-paling hanya menyapu dan mengepel. Pak De Rahmad adalah tukang kebun di rumah kami di Pekanbaru. Ayah ditugaskan untuk pergi ke sebuah desa pedalaman Riau untuk melakukan survei. Aku pun tidak tahu entah apa nama desa ini. Yang penting, aku akan menghabiskan masa liburanku di rumah baru. Setelahnya, bulan depan kami sudah harus kembali lagi ke Pekanbaru.
Aku menghempas tubuhku ke kasur yang ada di sudut kamar, menunggu beberapa saat hingga semangatku kembali lagi. Namun tak gampang mengumpulkan tenaga, karena dari tadi semenjak di jalan, aku sudah harus menahan rasa kantuk serta menjaga barang-barang yang diletakkan Ibu di sampingku, agar tidak jatuh. Jalan menuju desa ini tak begitu parah, namun walaupun begitu, kami harus tetap berhati-hati karena beratnya medan dan struktur geografis daerah ini yang tak begitu baik. Kasur itu bukanlah spring bed seperti yang ada di rumahku yang lama, hanya terbuat dari kayu dan dialaskan tilam yang sudah pudar warnanya. Aku kemudian membuka jendela dan melemparkan pandangan ke luar, melihat pohon-pohon lebat yang tumbuh di seberang rumah. Di sana, juga tampak sebuah gubuk yang gelap dan reyot. Dari jendela rumah itu, tampak sesosok wajah yang hitam sedang melihat ke arahku.
Dengan segera aku membanting jendela dan berlari keluar kamar menuju ruang tamu. “Ibu!!!!! Ada hantu!!!!” Aku menjerit-jerit ketakutan dan baru kusadari bahwa aku sudah menangis menjadi-jadi, karena rasa takut yang begitu kuatnya. Ibu terkejut sesaat mendapati anak gadisnya ini berlarian tanpa alasan yang jelas. Aku langsung memeluk Ibu dan menangis membasahi jilbab barunya. “Oaaaaa…” sekarang suara bayi yang terdengar. Aku semakin takut dan mencengkeram lengan Ibu dengan keras. “Tuh kan, Bu. Apa ku bilang. Di sini ada hantunya. Tadi ada wajah hantu dan sekarang suara bayi. Kita pulang saja! Aku sudah tak tahan lagi disini!”
Ibu kemudian menjitak kepalaku dengan cukup keras. “Anak bodoh! Lihat! Mana hantunya?! Gara-gara kamu, Rayhan jadi bangun! Makin banyak kerjaan Ibu sekarang! Dasar!” Ibu kemudian mendorong tubuhku dari pundaknya, kemudian bangkit dan menggendong Rayhan, adikku tercinta. Namun aku hanya terdiam di sana, masih diliputi ketakutan yang luar biasa, dan memilih duduk di sofa ruang tamu ketimbang berada di kamar dan melihat wajah menakutkan itu lagi.
***
Keesokan paginya, aku terbangun dan mendapati diriku masih berada di sofa ruang tamu. Ternyata aku tertidur di sana. Suasana subuh yang mencekam mendorongku berlari menuju kamar Ayah dan Ibu di belakang rumah. Tanpa mengetuk pintu lagi, aku segera mendorong pintu dan menutupnya dengan punggungku. Untung saja, bantingan pintu yang begitu keras tidak membangunkan Ayah dan Ibu. Mungkin mimpi yang mereka dapatkan lebih besar efeknya daripada bantingan pintuku itu. Aku kemudian menyelinap di bawah kaki Ibu dan tertidur disana. Bruk! Belum semenit aku tidur, aku sudah merasa didorong seseorang. Ibu kemudian bangun. “Astagfirullah al aziim… Maafkan dosaku, ya Allah…”
“Maaf, Bu. Ketiduran. Ibu sudah sholat? Ayo sholat sama-sama.”
“Hah? Sudah waktunya sholat subuh? Astagfirullah… Ayo, cepat ambil wudhu.” Ibu kemudian bangkit dari ranjang dan membangunkan Ayah untuk sholat bersama. Sebenarnya, panggilan sholat itu merupakan alasanku untuk tidak sholat sendirian. Namun, ternyata rencana refleks itu ampuh juga. Selepas sholat, aku kemudian membantu Ibu membersihkan ruang tamu dan halaman depan. Saat berada di luar, sengaja kusapu hanya pada bagian yang paling sering dilewati saja, karena ketakutan kembali memelukku saat memandang gubuk di seberang rumah.
Paginya, Ibu segera membuatkan mie instan sebagai sarapan kami. Ternyata mie yang biasa tak kugemari itu mampu meluluhkan hati sekaligus perut yang berteriak meminta diisi. Setelah itu, aku mengambil MP3 Player dari dalam tas yang kuletakkan di dapur, dan merebahkan diri di sofa. “Dini! Ayo ke sini! Bantu Ibu sebentar, Nak.” Aku menurut saja. Ibu kemudian meletakkan beberapa bingkisan yang telah dimasukkan ke dalam plastik dan siap untuk dibagikan ke tetangga. Mungkin isi bingkisan itu makanan, pikirku. “Bantu Ibu, Nak. Tolong bagikan bingkisan ini sebagai tanda perkenalan dengan tetangga kita. Ibu harus menjaga Rayhan. Ayah sedang tidur. Jadi, kamu sajalah yang pergi. Tolong ya.” Ujar Ibu tanpa melihat wajahku. “Ah, Ibu. Bagaimana kalau aku saja yang jaga Rayhan, sedangkan Ibu pergi ke rumah tetangga?” aku berusaha membujuk Ibu dengan kata-kata manis. “Aduh. Kamu jangan egois begitu, dong. Dari kemarin kam kamu belum melakukan apa-apa. Jadi, sebagai hukumannya, kamu saja yang bagikan ke tetangga, ya.” Ibu juga berusaha membujukku dengan kata-kata menis, lengkap dengan ciuman di kening. Kalau sudah begini ceritanya, aku tidak bisa berkata-kata lagi. Ya sudahlah.
“Assalamualaikum, Bu.”
“Waalaikumsalam warahmatullahi wabarakatuh. Jangan ketinggalan barang satu rumahpun, ya. Makasih, sayang.” Ibu kemudian menggendong Rayhan dan menyusuinya. Aku kemudian berdiri di depan rumah, menentukan arah yang harus kutempuh. Akhirnya kuputuskan untuk berjalan ke arah kiri dulu. Namun, langkahku kupercepat saat melewati gubuk itu. Kutekadkan untuk tidak pergi ke rumah itu. Dua jam kemudian, aku sudah kembali dengan membawa satu bungkusan terakhir. Perkiraan Ibu memang tepat, jumlah rumah penduduk di desa itu sama dengan jumlah bingkisan yang Ibu beli. Kutimang-timang bingkisan yang terkhir itu dan berjalan masuk ke rumah.
“Assalamualaikum, Bu.”
“Waalaikumsalam. Wah, bingkisannya lebih satu, ya?”
“Sebenarnya ada satu rumah lagi yang belum Andini kunjungi. Tapi, Ibu sajalah yang ke sana. Rumahnya dekat, kok. Cuma di seberang rumah. Itu tuh, gubuk yang itu.”
“Waduh, kamu ini. Masa cuma di seberang rumah saja tidak mau mengantarnya. Keterlaluan kamu, Din.” Ibu hanya menggelengkan kepala sambil mengganti popok Rayhan, kemudian menaikkannya ke punggung dan meliliti badan gempal itu dengan kain. “Tapi rumah yang satu ini beda, Bu. Pokoknya aku tak mau masuk ke sana. Ibu saja, deh, yang pergi.” “Tapi Ibu masih harus mengurusi Rayhan. Kamu sajalah. Nanti Ibu buatkan kue bolu kesukaanmu.”
Kalau sudah begini, aku kembali tak bisa berbuat banyak. Tanganku mulai gemetaran saat mengulang semua memori yang kusimpan kemarin. Bismillahirrahmanirrahiim… tanpa kusadari, kakiku mulai melangkah menuju pintu, menarik gagangnya yang sudah kasar.
“Assalamualaikum…” Deg…deg…deg…
“Assalamualaikum…” aku mengulang kembali salamku, kali ini lebih keras, berusaha untuk membangunkan telinga wanita tua itu yang barangkali sudah berkarat karena dimakan usia. Sedetik kemudian aku mendengar suara seretan langkah kaki yang berat dan menyeramkan.
“Astagfirullah… Allahu Akbar… Allahu Akbar…” jeritku dalam hati.
“Waalaikumsalam…” suara wanita itu bak petir di siang hari, terlalu berat untuk suara seorang tua. Derik pintu semakin membuat kesan angker menari dalam teriknya siang. Udara yang semula terasa hangat mulai terusir oleh semilir angin dingin yang memapah tubuhku. Wajahnya yang kasar dan besar mengingatkanku pada seorang makrosepalus yang biasa kutemui di ujung jalan menuju sekolah. Mataku seolah berpaling dari sorotan wanita itu, mencoba merangkai kata yang cocok untuk memulai sebuah perkenalan yang mungkin tak akan pernah terjalin lagi.
“Um.. permisi, kami yang baru pindah ke daerah ini. Rumah kami terletak di seberang sana. Kalau Nenek memerlukan sesuatu, nenek tak perlu segan-segan untuk ke sana. Tolong diterima, Nek.”
Bisa kutebak tak ada senyuman yang melengkung di wajahnya, yang jika kubandingkan, aku lebih suka menyebutnya kawah. Tangannya yang sudah mengelupas mulai mendekati bingkisan yang kuberikan. Ya Allah, selamatkanlah hamba-Mu ini, ucapku dalam hati.
“Terima kasih, Nak.” Bisa kurasakan kekuatannya, yang cukup untuk membuat diriku tertarik ke depan. Setelah itu, dia menghilang begitu saja, masuk ke rumahnya yang sederhana dan reot. Urat-urat kakiku sudah tak beraturan lagi, merasa cukup lega setelah melewati momen-momen yang tak jauh beda dengan cengekeraman Izrail. Aku termenung di sana, entah harus menangis atau tersenyum.
***
Suara jangkrik mulai terdengar menyelinap di antara kedamaian dan kelamnya malam. Anak-anak mulai berkumpul di lapangan dan memeriahkan kesempurnaan mahkota langit di malam hari. Ia bersinar dengan terang serta membawa keceriaan anak-anak kembali ke pangkuan mereka. Bintang-bintang yang melayang bagai mengucapkan salam hangat kepada siapa saja yang menatapnya.
Aku kembali membisu dalam kamar, membaca buku-buku milik Ibn Sina yang menjadi sebuah akar pemikiran batinku. Ayah dan Ibu pergi ke rumah ketua RT sekadar bersilaturahmi dan berkenalan dengan warga yang kebetulan lewat di sekitar sana. Merasa bosan, aku mulai beranjak menuju meja belajar dan mengeluarkan notes kecil pribadiku. Kubuka lembaran-lembaran yang telah kutulis sebelumnya, berisi tentang semua keagungan dan keajaiban bumi Allah yang maha luas ini. Entah mengapa hatiku menuntun tangan menggores tinta pena ke lembaran-lembaran catatan kecil itu…
“Goresan memori silam hanya dapat meninggalkan fragmen hati yang telah usang
Yang tersenyum samar menyembunyikan rahasia ilahi
Di antara jagad kegelapan aku mencari jati diri, menemukan diriku yang sebenarnya
Yang barangkali telah merasuk bersama sekelumit serabut noda
Dan aku mulai bertingkah bak tokoh teater di panggung kebohongan
Yang hanya tersenyum manja, padahal menjerit dalam hati
Saat disiksa di tengah jagad batin yang kelam…”
Aku terhenti sesaat, ketika mendengar suara bantingan yang cukup keras dari rumah di seberang sana. Jantungku berpacu seirama dengan derap kaki sang waktu, merangkai pikiran yang bercabang entah ke muara mana. Suara itu terdengar lagi, bahkan terasa lebih kuat. Tanganku sudah bersiap-siap meraih telepon genggam dan menelepon ayah, namun rasa penasaran lebih merajai perasaanku saat itu.
Tak perlu waktu yang cukup lama untuk mencapai gubuk di seberang rumah itu. Namun, kali ini aku mempersenjatai diriku dengan sebuah tongkat besi milik Ayah yang disimpan di dalam mobil. Bulu kuduk mulai mencengkeram kulit dan berusaha mengikuti hembusan tipis sang angin malam. Halaman depan yang sangat tak terawat disertai lembaran-lembaran daun kering dan lengkingan serangga kecil mulai menambah cekaman suasana itu. Sesaat kemudian, pintu itu berderik dan menunjukkan tanda-tanda bahwa sebentar lagi sang pemilik gubuk akan keluar. Tanpa pikir panjang lagi, langsung saja kuambil langkah seribu menuju rumah Pak RT, berlari ke dalam hangatnya pelukan Ayah dan Ibu.
***
Kabut tipis yang beraroma menari bersenda gurau dengan terangnya purnama. Aku hanya dapat menahan hawa dingin di balik kulit yang tipis. Jalanan yang terasa mendaki memperlambat
Selengkapnya...

Siapa Peduli

Bumi menggigil
Awan menangis
Langit menjerit
Semua meraungkan kesedihan

Lihatlah dia!!
Dia temanku paling kaya di seekolah
Tetapi dia tertawa ketika merusak alam
Senang rasanya membuang gas CO2 dari mobil mewah yang dibeli orangtuanya


Kemudian dia !!
Dia penguasa yang membangun negeriku
Tetapi dia tertawa ketika merampas habitat hewan malang
Bangga rasanya telah memberantas pohon di hutan secara ilegal

Seterusnya lihatlah kita!
Kita generasi muda penerus bangsa
Yang lebih banyak bicara daripada berbuat
Adakah tangan kaki dan hati peduli pada lingkungan ??

Hhhh..Tidak!!
Masa bodoh dengan lingkungan
Bosan diingatkan hanya untuk menjaga lingkungan
Capek membuang sampah pada tempatnya
Nggak gaul kalau sayang pada lingkungan
Begitukah kita semua/ Oknum-oknum yang gengsi menjaga lingkungannya

Sepertinya semua makhluk akan bertaubat
Ketika tempat tinggal anak dan cucu
Telah hancur binasa








*Puisi ini telah dibacakan pada acara "WALHI" di Taman Kota.
Telah disaksikan oleh anggota DPR RI Marissa Haque yang peduli pada lingkungan.
Puisi ini dibawakan oleh Dhia Hana Mufida dan Risti Ayu Putri yang metupakan siswa SMAN 8 sendiri.
Selengkapnya...

Menuju Jalan-NYA



Pagi itu, cuaca kurang bersahabat. Asap-asap bercampur kabut kembali menyelubungi kotaku. Paru-paruku mulai terasa sesak dan sakit. Kupaksa mengayuh sepedaku lebih kencang lagi. Jalanan yang masih sepi membuatku merasa lega, karena ada kemungkinan gerbang sekolah belum ditutup. Para penjaja makanan di trotoar persimpangan jalan sekolah juga tak terlihat. Mungkin mereka lebih memilih untuk beristirahat di rumah ketimbang bergulat dengan kabut asap pagi ini. Harus kuakui, kabut asap pagi ini bergitu tebal, sehingga pandangan mataku tidak dapat melihat hingga jarak yang jauh. Jadi, kuputuskan untuk memperlambat kakiku mengayuh sepeda peninggalan ayahku itu. Lagipula, gerbang sekolah tak akan mungkin ditutup begitu cepat karena cuaca yang kurang mendukung transportasi,
“Selamat pagi, Pak!” sapaku pada seorang lelaki tua setengah baya, tepatnya penjaga sekolahku, Pak Edi.
“Selamat pagi, Nak!” balasnya tanpa senyum yang biasanya ia lontarkan padaku. Lelaki itu kembali mengerjakan tugasnya, menyiram bunga-bunga dan tumbuhan di sekitar gerbang sekolah. Kubelokkan sepedaku ke lapangan parkir. Di sana, hanya tampak beberapa sepeda motor milik teman sekelasku. Heran, mengapa mereka begitu cepat datang pagi ini, pikirku. Kuayunkan langkah menuju koridor sekolah, melewati ruang kepala sekolah dan tata usaha. Kusapa guru-guru dan beberapa karyawan sekolah lainnya. Tampak beberapa guru sibuk menelepon dan berlari kecil menuju ruang wali kelas. Tak seperti biasanya pagi hari tampak begitu sibuk.
Beberapa langkah lagi aku akan tiba di kelasku tercinta, ruang kecil tempat aku menerima ilmu dan binaan modal untuk masa depanku. Karena asyik melamun, aku tak melihat ada sebuah batu tepat dimana kakiku akan berpijak. Dan terjadilah hal yang memilukan itu. Luka kecil di sekitar lutut dan siku memang agak menyakitkan, namun aku tak mau ambil pusing menghabiskan waktu untuk mengurus hal kecil seperti itu. Kecil? Aku tahu luka sebesar itu dapat menimbulkan infeksi jika tidak langsung ditangani, tapi, biarlah. Sayup-sayup kudengar suara isak tangis dan bisikan-bisikan kecil dari kelasku.
Rasa takut merasuki pikiranku sejenak, mungkinkah sepagi ini hantu-hantu masih bergentayangan? Kuberanikan diri untuk berdiri. Kaki-kaki yang masih perih kupaksa menyokong tubuhku yang besar ini. Suara-suara itu kembali terdengar, bahkan lebih jelas dari sebelumnya. Aku bersandar pada dinding dan menunggu rasa sakit segera menjauh, sembari kudengar suara-suara yang makin lama makin terdengar seperti percakapan.
“Sudahlah, anak-anak. Mungkin ini sudah ditakdirkan Tuhan untuknya dan untuk kita semua. Lebih baik nanti, sepulang sekolah, kita atur lagi waktu kita untuk menjenguk Arga.”
“Arga? Menjenguk?” aku agak terkejut ketika guruku menyebutkan nama Arga.
“Satu hal lagi, anak-anak. Ibu mohon kalian tidak menceritakan hal ini kepada Ridwan dulu. Sepertinya dia tak akan siap untuk menerimanya sekarang. Ibu takut akan terjadi hal-hal yang kurang baik. Assalamualaikum,” lanjutnya.
Bagaikan dibantu oleh para malaikat, aku berjalan dengan menyeret kaki yang masih sakit. Saat aku hendak menyentuh gagang pintu kelas, beliau sudah lebih dulu membuka pintu.
“Ridwan?” ekspresi muka guruku berubah seketika, antara terkejut dan cemas, “cepat sekali kamu datang hari ini?”
“Ceritakan, Bu! Ada apa dengan Arga?”
Bu Rahmi mulai terlihat bimbang. Tangannya sibuk memainkan jemari-jemari kecilnya. Nafasnya sudah tak beraturan lagi, seperti sedang menahan tangis. Sesaat kemudian, beliau menarik tanganku, dan melangkah menuju ruang guru.
***
Uap dari teh yang disajikan oleh Bu Rahmi sudah mulai berkurang jumlahnya, namun aku masih belum menyentuhnya sama sekali. Bu Rahmi masih menggenggam saputangan yang digunakannya untuk menyeka wajahku.
“Ridwan?” Mulutku seakan terkunci dengan erat, tak memedulikan Bu Rahmi yang kini menggoncangkan tanganku, menyadarkanku dari lamunan.
“Ridwan? Tolong jawab Ibu, Nak. Ibu tahu ini adalah cobaan yang sangat berat buat kamu, tapi kamu harus selalu ingat pada Tuhan, berdoa dan berpasrah. Ibu yakin Tuhan tak akan memberikan cobaan yang begitu berat buat kalian berdua, juga buat kita semua.”
Air mataku menetes tiba-tiba, setelah berapa lama kucoba untuk menahannya. Tangisku seakan-akan sudah siap meluncur. Syukurlah, Bu Rahmi mengerti situasinya, dan beliau menyerahkan lagi saputangan putihnya ke arahku. Mata Bu Rahmi kini mulai berkaca-kaca, entah sedih memikirkan keadaan Arga, atau malah bingung memikirkan cara untuk menenangkanmu.
“Sekarang pulanglah, Ridwan. Cepat atau lambat engkau akan mengerti.”
Aku segera menarik ranselku dari kursi disebelahku. Aku berlari kecil tanpa mengucapkan salam sebelumnya. Tepat setelah aku sampai di muka pintu, aku berbalik badan dan menatap Bu Rahmi sejenak.
“Bu…”
“Ya, Nak?”
Kini aku tak kuasa menahan haru dan air mata lagi. Kulempar ranselku seketika dan berlari ke arah Bu Rahmi. Disana, beliau sudah mengulurkan tangannya, bersiap menerima pelukanku untuk menangis sejadi-jadinya. Air mataku membasahi ujung jilbab Bu Rahmi. Tangannya yang hangat sibuk membelai rambut dan punggungku, membantu mencoba menghentikan tangisku.
“Sudahlah, Ridwan, pulanglah, engkau kelihatan sangat pucat sekarang. Atau Ibu akan meminta Pak Erdo untuk mengantarmu pulang dan menjelaskan semuanya pada ibumu, bagaimana?” Aku melepaskan pelukanku dari tubuh Bu Rahmi. Entah mengapa aku menggeleng tanda tak setuju, padahal di dasar hatiku aku menjerit, memohon ada orang yang dapat menemaniku, apalagi Pak Erdo, guru pengajar bimbingan konseling yang favorit di kalangan siswa, mempunyai segudang trik penyelesaian masalah, yang akan mengantarkanku pulang dan mencari jalan keluar dari masalah ini.
Kutatap lagi wajah Bu Rahmi. Air mata mulai menetes satu persatu dari sudut ekor matanya yang indah. Kucium tangannya dan segera berlalu dari ruangannya. Di jalan, entah sudah berapa pengendara yang memaki dan mengutukku karena aku menghambat jalan mereka dan ingin menabrakku. Di pikiranku hanya terlintas bayangan selang-selang yang kini mungkin sudah bertambah jumlahnya, terpasang di seluruh bagian tubuh Arga.
Aku mengenal Arga ketika kami bersama-sama diutus oleh pihak sekolah untuk mengikuti lomba cerdas cermat sekolah berprestasi se-Indonesia. Aku dipilih untuk mewakili bidang studi fisika, sementara Arga ditunjuk untuk memegang bidang kimia. Aku sangat heran, mengapa aku yang serba tak bisa ini dapat terpilih menjadi duta sekolahku untuk terjun ke iven sepenting itu. Namun, dialah, Arga, malaikat yang diutus untuk menjaga dan mengajarkanku berbagai macam hal, dia mahir dalam bidang fisika dan kimia, pemikirannya sangat luas dan suka mencari sesuatu yang menantang, selain itu, kami sering mendiskusikan hal-hal yang berbau agama, karena harus kuakui, aku sudah lama tertarik mempelajari Islam dan ingin menjadi pengikut Nabi Muhammad SAW. Arga tidak pernah marah akan setiap pertanyaan yang kupikir menjengkelkan dan bahkan dapat dikatakan tidak berguna. Ia selalu menjabarkannya secara terperinci dan bisa diterima dengan akal sehat, apalagi kalau kami sudah menyangkut urusan agama. Arga memang orang yang taat.
Sejak itulah aku mulai dekat dengannya. Kami saling berbagi dan menjaga rahasia. Bahkan, kami sering pergi ke bukit belakang sekolah untuk bercerita atau sekadar menghabiskan waktu dan meninggalkan segala kepenatan setelah menguras otak seharian. Kami mempunyai sebuah pohon yang kami beri nama “Pohon Harapan”,dimana kami menggantungkan harapan kami di dahannya, agar kami bisa saling mengingatkan dan mendukung sehingga cita-cita dan impian kami dapat tercapai.
Pohon haparan? Aku tertegun di tengah jalan lagi. Di belakang, sudah ada seorang pengendara motor yang berteriak ke arahku. Aku mengelak dan membiarkannya lewat. Sesudah itu, aku berbalik badan dan mengambil jalan pintas menuju bukit belakang sekolah. Sudah sekian lama aku tak menggantungkan harapan dan doaku di ranting pohon yang rindang itu. Dan aku dibuat tertegun oleh pemandangan yang baru ini. Pohon itu seolah hidup lagi dengan beranekaragam kertas berwarna-warni yang digantung pada setiap dahan. Barangkali hanya ulah anak SD yang lewat saja, pikirku. Aku duduk di singgasana yang biasa kutempati, melempar pandangan ke arah kota yang sudah terlihat kecil. Lalu aku memutuskan untuk berbaring dan memandang langit. Saat itu juga secarik kertas berwarna putih jatuh tepat diatas dadaku. Kuambil dan kubaca dengan seksama.
“…tak seorangpun tahu kapan ia akan bertemu dengan utusan Allah yang mencabut nyawanya. Tak seorangpun tahu sampai detik keberapa ia akan hidup. Tak seorangpun juga yang tahu sampai di kilometer keberapakah ia akan melangkah. Banyak orang yang mati dalam pelukan senja, buaian pagi, bahkan teriknya siang. Banyak orang yang telah berpulang menghadap-Nya dan harus kita sadari, kita semua akan menyusul mereka sesegera mungkin. Allah, jika sudah waktunya engkau menarik jiwaku, kuatkanlah hatiku untuk berpasrah pada-Mu, sehingga aku dapat merasakan indahnya rahmat-Mu di akhir hidupku…”
Aku segera bangkit. Angin sepoi-sepoi betiup melambaikan rambutku. Kubongkar semua memori otakku, dan akhirnya aku menyadari bahwa tulisan itu adalah goresan tangan Arga. Kusambar tas dari tanah dan berlari secepat mungkin ke rumah sakit untuk menemui Arga.
***
Dia kelihatan sangat lemah tak berdaya. Ia merelakan dirinya dipasangi berbagai macam selang dan beragam cairan obat-obatan. Kanker otak stadium empat telah merenggut masa depannya. Kini dia hanya dapat terbaring dan menunggu malaikat menjemputnya. Aku duduk di sebelahnya, menghitung setiap nafas yang ia hembuskan, terdengar begitu berat dan tersiksa. Tangannya sudah kering dan rambut-rambut sudah tak terlihat lagi di kepalanya.
“Arga, aku datang menjemputmu.” Tak ada jawaban. “Bukalah matamu, Arga, ayo kita pulang. Kau tak cocok berada di tempat seperti ini. Ruang ini hanya untuk orang-orang yang sakit. Kau tak sama seperti mereka, kau berbeda, kau masih sehat. Ayolah, Arga, bangun dan kemasi barang-barangmu!” aku mulai berteriak-teriak, tak peduli entah dia mendengar atau tidak. “Arga!!!” kulempar kertas yang tadi kutemukan di atas bukit. “Kalau kau tidak juga bangun, jangan harap kita bisa berteman seperti kemarin lagi!” Hanya ada suara detak jam dan alat pengukur denyut jantung. Aku menjerit sekali lagi dan berlari menuju koridor.
Brak! Aku membanting pintu kamar sekeras mungkin, melampiaskan segala kekesalan dan kesedihanku. Kulempar tubuh ini ke atas ranjang dan disanalah, aku menangis sepuasnya, hingga aku benar-benar merasa lelah dan tak sadarkan diri.
“Ridwan, ayo bangun. Ada telepon dari mamanya Arga. Katanya ini persoalan penting, ayo cepat! Beliau sedang menunggu kamu,” dengan keras Ibu menggedor pintu kamarku, berusaha membuatku terjaga. Aku tersentak dan melihat ke arah jam. Sudah jam 9 malam! Aku bangkit dengan lemah dan keluar menuju ruang tamu.
“Halo, Tante?.....Apa?!” tanpa pikir panjang aku segera menarik jaket biru tuaku yang sudah kumal dari sofa ruang tamu. “Ma, aku pergi dulu. Aku mau melihat Arga di rumah sakit. Akhirnya dia siuman!” Sepatu yang kukenakan kurang sempurna, namun aku tak menggubrisnya sedikitpun, malah aku ingin melempar sepatu itu jauh-jauh dan berlari menuju halte, mengejar bus yang akan membawaku ke rumah sakit.
“Tante, Arga dimana?” aku melihat mama Arga yang sedang duduk di koridor tepat di seberang kamar Arga. “Wan, tadi Arga sempat siuman dan mencarimu. Dia tetap bersikeras untuk meminta Tante mendatangkanmu.” “Sekarang Arga ada dimana, Tante?” Mama Arga terdiam sesaat.
“Dokter mengatakan bahwa kesadaran dia barusan akan memperparah keadaannya. Jika dalam seminggu ini ia kembali koma dan masih belum dapat membuka matanya dan berbicara seperti sediakala, maka ia akan meninggalkan kita semua…” Tangis mama Arga pecah seketika. Aku segera duduk di sebelahnya.
“Tante, Arga itu orangnya kuat dan tegar. Dia tak mungkin meninggalkan kita secepat itu. Arga pasti bisa melewatinya. Kita bisa berkumpul bersamanya lagi, tertawa bersama,…” ucapanku terhenti sesaat ketika melihat dokter yang merawat Arga keluar. Kami segera bangkit menghampiri dokter itu.
“Saya tidak dapat membantu banyak, Bu. Pernyataan saya yang tadi sepertinya sudah cukup untuk mengganbarkan keadaan Arga sekarang. Kita hanya membutuhkan pertolongan-Nya dari atas sana.”
Tanpa memedulikan perkataan dokter itu, aku segera menyerobot masuk ke kamar Arga. Kini selang-selang itu sudah mulai bertambah dengan beberapa bekas suntikan di sana-sini. Kuraih tangan sahabatku yang lemah itu, menciumnya dan berdoa, “Ya Tuhan, kuatkanlah hati kami, berikan bantuan-Mu untuk temanku ini. Dia sudah cukup menderita. Limpahkanlah belaskasihan-Mu ini untuk kami, Tuhan… sembuhkanlah ia dari penyakit ini, ini sudah terlalu berat untuk ia terima…” Aku menangis tersedu-sedu menciumi tangan Arga. Aroma obat sudah mulai menguasai seluruh organ tubuhnya. Cairan infus mengalir setetes demi setetes ke tangannya yang kaku.
Aku merasakan ada seseorang yang membelai daguku. Arga! Dia sadar lagi! “Arga? Kau sudah siuman? Akan kupanggilkan dokter sebentar.” Aku telah bersiap menekan bel di atas ranjangnya, sebelum ia menarikku lebih kuat dari sebelumnya. “…Wan…” suaranya yang parau begitu menyayat hatiku, mencabiknya menjadi serpihan kecil, yang kini menyadarkanku akan umurnya yang pasti tak akan lama lagi. “Ya?” balasku. “…Aku… minta… maaf…” ia berbicara terbata-bata. “Aku… tak pernah… memberitahumu bahwa… aku sudah mengidap… penyakit ini sejak lama..” nafasnya tersedak sampai di situ.
“Tante, tante!!” aku berteriak memanggil mama Arga. Beliau kemudian masuk dengan setengah berlari. “Astaga, Arga! Alhamdulillah, akhirnya kamu sadar, Nak. Ini benar-benar suatu mukjizat. Tunggu sebentar, Arga, mama akan memanggil dokter!” Setelah mencium kening Arga, mama Arga segera keluar, dan berteriak sekencangnya memanggil sang dokter.
Kukembalikan wajahku ke arah Arga. Dia sedang menatapku dengan matanya yang cekung. Aku dapat melihat begitu besar dan dalamnya penderitaan yang harus ditanggungnya. Namun itulah Arga, sahabatku, yang selalu berdiri dan berusaha untuk menjadi kuat ketika diterpa masalah yang akan menyeretnya jauh.
“Aku tak pernah menyalahkan engkau jika tidak pernah memberitahukan hal ini kepadaku, Arga. Tapi sebagai teman yang telah lama mendampingimu, minimal kamu mengatakan sedikit dari permasalaan ini kepadaku, agar aku dapat membantumu keluar dari penyakit ini…” aku mulai berbicara terisak-isak. “Aku… aku tak mau merepotkanmu, Wan. Kau sudah cukup lama membantuku, menemaniku ketika aku sedang butuh teman. Itu sudah lebih dari cukup bagiku, dan sekarang aku tak mau membawamu ke masalah yang lebih dalam lagi.” Suara Arga terdengar parau menahan tangis agar suaranya terdengar lebih jelas.
“Dan sekarang, apakah kau dapat melihat betapa tertekannya aku mendapatkanmu terkena penyakit kanker otak stadium akhir? Bukankah sekarang kau lebih merepotkan aku lagi? Arga… Arga, kau…” Aku tak dapat melanjutkan ucapanku, malah sebaliknya aku langsung memeluknya dan menangis di atas tubuhnya yang hangat dan lemah. Ia berusaha kuat memelukku dan mengembalikanku ke keadaan semula. Diusapnya kepalaku dan mendorong kecil tubuhku guna mengumpulkan celah untuk berbicara.
“Wan, kau tahu apa yang kulihat ketika aku koma kemarin? Aku melihat kita bertemu di suatu tempat, yang begitu indah, berdua menghabiskan waktu, bergurau bersama angin dan kicauan burung merpati, begitu terang dan tentram. Aku ingin mimpiku itu segera terwujud, selalu bersamamu dalam suka maupun duka, menjelajahi Bumi Allah yang maha luas ini, mengagumi keindahan-Nya dan bersyukur atas apa yang kita terima. Asalkan kita bisa bersabar dan mengikhlaskan diri kepada-Nya, derajat keimanan kita sudah bertambah, jumlah pahala kita bertambah, dan kita dapat selalu lebih dekat dengan-Nya.” Tangan Arga menggenggam lenganku lebih keras dari sebelumnya.
“Ga, aku pasti akan selalu mengingat hal itu. Yang penting kamu bisa sembuh. Hanya itu yang paling penting sekarang.” “Kurasa sebentar lagi para malaikat akan menarik rohku dari tubuh ini. Aku tak dapat berbuat apa-apa lagi. Hanya engkaulah yang bisa kupercaya sekarang. Dengarkanlah aku baik-baik.” Selama beberapa saat kami terdiam, hanya isak tangis kami yang bisa menyembuhkan luka yang sudah terlanjur terukir di hati kami berdua.
“Entah sudah berapa banyak dosa yang kuperbuat selama hidupku. Entah sudah berapa banyak orang yang telah kusakiti perasaannya. Entah sudah berapa banyak jiwa yang telah kurusak. Dan aku tak bisa mengembalikannya sepeti semula, semuanya. Hanya engkau yang bisa melakukannya untukku, Wan. Kau tahu, ketika aku masih kecil, aku telah ditinggal oleh ayahku, ayah yang menciptakan tubuhku dari darah dan dagingnya sendiri. Saat aku tumbuh, aku mulai mengenal berbagai macam hal, berdiri, belajar, menyayangi. Ketika aku membutuhkan ucapan seorang teman, hanya engkau yang mengerti dan bisa menjadi ayah dan juga teman sejati sekaligus. Aku sungguh beruntung dikaruniai seorang malaikat sepertimu, Wan.” Tangis kami pecah lagi, bahkan suara-suara hewan malam yang biasa berbunyi tak lagi terdengar.
“Wan, setelah aku pergi nanti, menghadap penciptaku, aku ingin engkau menjaga ibuku, orangtua satu-satunya yang kukenal, yang mendewasakan aku dengan figur seorang ayah dan seorang ibu, yang mengenalkan arti indahnya dunia dan makna hidup yang sebenarnya. Dan datu lagi, Wan… aku ingin engkau selalu mengingat persahabatan kita, ketika kita saling berbagi bahagia maupun kepahitan, ketika kita saling mengingatkan apa yang telah kita perbuat, ketika…” Nafas Arga mulai tertekan. Firasatku sungguh tak tenang, merasakan kehadiran aura yang tidak baik.
Tepat saat itu, sang dokter datang bersama beberapa orang perawat. Wajah mereka menunjukkan ketegangan yang luar biasa, pucat, seakan mati. Kami segera menarik langkah dari kamar itu, memberikan segenap harapan kepada sang dokter. Jarum jam terasa berjalan begitu pelan, memperdengarkan setiap lentingan gerakannya di telinga kami. Suasana di koridor itu sungguh mencekam dan penuh dengan kegelisahan.
Selang beberapa saat kemudian terdengar suara engsel pintu yang dibuka. Berdirilah sang dokter itu di sana. Spontan kami langsung berlari menghampirinya.
“Ibu, Nak, kuatkan hati kalian.” Dokter itu melihat ke arah kami berdua bergantian.
“Maksud Dokter? Cepat katakan, Dok! Jangan buat kami cemas!” Mama Arga tampak sangat marah dan gelisah, berusaha mengumpulkan sisa tenaganya yang telah terkuras, hingga tampak jelas garis-garis penderitaan di wajahnya.
“Maaf, anak Ibu tidak dapat kami selamatkan. Kami sungguh menyesal. Keinginan Tuhan memang tak bisa diubah. Kita semua harus tegar menghadapi kenyataan ini.” Dokter itu pun kemudian berlalu setelah mengucapakan salam kepada kami.
Hanya tinggal kami berdua saja yang berdiri mematung di sana, berpelukan dalam tangis yang kian menghangat, menitikkan satu demi satu butir kenangan yang tertinggal. Tubuh Arga didorong keluar dengan sebuah tandu. Wajahnya terlihat sangat pucat. Aku tak tahan lagi melihat wajah dia! Tidak, Tuhan! Aku tidak kuat! Sontak aku kemudian berbalik dan berlari meninggalkan jasad Arga dan mamanya yang memeluk tubuh mati Arga. Jeritan pilu dari mulutku seakan belum cukup untuk mengembalikan roh Arga kembali ke tubuhnya lagi. Dan aku masih belum berani menatap jasad Arga sekalipun aku sudah jauh berlari meninggalkan dirinya. Terlalu menyakitkan untuk melihatnya dengan mata kepalaku sendiri…
***
Tak ada yang kukerjakan pagi hari itu, selain membuang pandangan keluar jendela kamar, menatap jalanan depan rumah yang basah disiram hujan. Hari itu adalah hari pemakaman Arga dan seharusnya aku sudah berada di sana, mengantarkan sahabatku itu menuju rumah terakhirnya, tempatnya bersiap dan menunggu untuk dibangunkan kembali oleh sangkakala malaikat di akhir waktu. Seharusnya aku sudah mengucapkan selamat beristirahat padanya. Seharusnya aku sudah menabur bunga dan berdiam memainkan tanah makam Arga, yang akan selalu setia menemaninya hingga waktu usai.
Ibuku menyilangkan tangannya ke pundak aku, meremas sedikit untuk membuatku tersadar dari lamunan yang panjang. Tak kubalas sedikitpun pandangannya, malah makin mendalam menerawang ke arah jalan yang sudah kosong melompong. Akhirnya beliau angkat bicara, “Ayo, Wan, sudah saatnya makan. Kamu malah akan sakit jika terus begini.” Aku masih saja membisu. “Baiklah, Ibu akan bilang pada mamanya Arga kalau kamu tidak mau berbicara.” Mama Arga? Aku tersentak sebentar, meyakinkan diriku yang baru mendengar ucapan Ibu itu.
“Mama Arga?” Dengan segera aku turun dari tempat tidur dan berjalan lemah menuju telepon. Kini aku baru menyadari bahwa aku belum makan sejak kemarin siang. “Halo?” sapaku. “Halo, Wan. Bagaimana keadaanmu? Tante perlu bicara denganmu. Mungkin kamu bisa datang ke rumah Tante sekarang.” “Ada apa, Tante?” “Ada yang harus Tante beritahu. Ini tentang Arga. Tante mohon kamu datang secepat mungkin, ya. Makasih, Wan.” Tanpa menunggu jawaban dariku, beliau langsung menutup gagang telepon. Aku langsung menyambar jaket yang biasa kupakai, tapi langsung dicegat Ibu. “Makan dulu, atau kamu tak akan keluar?” Aku tak punya pilihan lain, ya, memang, perut ini telah melakukan aksi unjuk rasa besar-besaran, menghancurkan setipis demi setipis dinding lambungku. Kuselesaikan makan siang, yang sebenarnya tidak tepat lagi jika dikatakan siang, dan segera berlari mengayuh sepeda ke rumah Arga.
“Wan, Tante menemukan surat ini ketika membereskan barang-barang Arga dari kamarnya. Tante sudah memutuskan untuk mengikhlaskannya menghadap Allah, dan Tante tidak mau selalu memikirkannya setiap saat, karena Tante tahu kalau Arga pasti sudah ditemani oleh malaikat-malaikat di sana. Walaupun begitu, Arga masih anak tunggal Tante yang paling Tante cintai.” Mata beliau mulai berkaca-kaca, mungkin pemakaman tadi masih membekas di hatinya.
“Tante, terima kasih banyak. Kalau begitu, sebaiknya aku pergi dulu ke makam Arga. Tadi siang aku belum sempat mengucapkan selamat tinggal padanya.” Aku memegang tangan mama Arga dan mengangguk perlahan. Kemudian, kembali kukayuh sepedaku tanpa tujuan yang pasti. Kubongkar lagi semua memori otakku dan kuharap Arga sedang berada di sana sekarang, di bukit belakang sekolah.
Benar dugaanku. Setelah kuletakkan sepedaku di tanah, aku berlutut di samping makam Arga. Makam itu masih basah, entah karena siraman hujan atau bekas prosesi tadi pagi. Kuambil segenggam tanah dan menaburkannya ke tengah taburan bunga. Aku melihat ke segala penjuru sejenak, kemudian membuka surat yang diberikan mama Arga. Di sampul surat itu memang tertulis namaku, namun huruf-hurufnya sudah mulai kabur.
“Memang sulit menerima keadaan yang seharusnya tak kaurasakan. Terasa berat ketika engkau mendapati dirimu ditengah lautan aroma kematian yang mulai menarik dirimu ke arahnya. Namun hanya dengan menerimanyalah, aku akan menjadi kuat, karena aku hidup untuk-Nya dan aku akan mati untuk-Nya. Hanya untuk-Nya. Allah, jika ini yang Engkau kehendaki, ambillah diriku untuk menyadarkan kami yang berlumur noda dosa yang tak Kau cintai ini… Ambillah diriku agar kami menyadari betapa agungnya Engkau ketika membuat dan menarik kami… Sadarkanlah kami dari belenggu ini, ya Allah. Bimbing langkah kami agar selalu berjalan di jalan-Mu… Amin…”
Tak terasa satu demi satu bulir air mata kembali membasahi pipiku. Kutatap sebentar makamnya dan kucium batu nisannya, yang beraroma keindahan setiap kebaikan yang dilakukan Arga. Aku segera bangkit dan menuruni bukit itu. Sekilas aku berbalik dan berbisik perlahan di dalam hati, “Terima kasih, Arga. Kau selalu menenangkanku, membimbingku menuju keagungan Tuhan. Arga…”
***
Tiga tahun telah berlalu dan aku kembali mengunjunginya, mendatangi rumahnya yang kecil namun tenang itu, kembali bersilaturahmi dengan membawa diriku yang baru, yang terlahir kembali menjadi seorang muslim sejati. Tak lupa kubeli beberapa bunga segar untuk menemaninya. “Assalamualaikum, Arga. Maaf sudah lama aku tak mengunjungimu, membersihkan rumahmu yang tentram ini,” aku mengusap tanah makamnya yang tak rata. “kau tahu, Ga? Akhirnya aku berhasil mencapai cita-citaku, mewujudkan impianmu, dan menjadi pengikut-Nya yang setia. Aku telah menjadi seorang muallaf…” senyum yang menunjukkan kebanggaanku terlukis dari wajahku yang kini tampak segar. “Kita akan bertemu di sana suatu hari nanti.” Aku kemudian menabur bunga dan berdiri, menatap pohon harapan kami yang menjulang tinggi di hadapanku. Angin yang bertiup perlahan membelai wajahku seakan membawa jawaban, “Ya, kita pasti akan bertemu lagi.” (sk)
Selengkapnya...