Rabu, 20 Oktober 2010

KESAKSIAN SANG MALAM

Dewi malam kembali menggantungkan dirinya di langit, menambah ketenangan di malam yang begitu dingin. Dari hamparan rumput tepi sebuah jurang, terdengar perlahan-lahan suara seruling yang begitu merdu sekaligus mencekam batin siapa saja yang mendengar alunannya. Sesosok manusia tampak dari balik sebuah pohon, menatap langit yang berhiaskan butiran-butiran bintang kecil yang berkilauan bagaikan intan yang enggan diraih siapapun.

Suara seruling ini makin keras, menyebabkan para petugas ronda yang lewat daerah itu segera menyingkir dan memegangi leher mereka. Setiap malam bulan purnama, tak ada yang berani menyisiri daerah itu untuk memastikan keadaan lingkungan mereka. Konon, di sana terdapat seorang manusia pohon yang telah menjadi penunggu hutan di samping jurang tersebut.
Cerita yang begitu tidak bisa diterima dengan akal sehat telah menyebar di antara masyarakat setempat, menciptakan sebuah tradisi untuk meletakkan sesajian di bawah sebuah pohon beringin yang telah tua yang berdiri kokoh di sisi mulut jurang. Menurut para tetua, pohon itu pernah membantu para pejuang kemerdekaan bersembunyi dari kejaran pihak penjajah kolonial, sehingga pohon itu begitu dikeramatkan oleh masyarakat daerah tersebut.
Selang beberapa jam setelah kepergian sang petugas ronda, sosok manusia tersebut berdiri, terpaku melihat ke dalam jurang. Suara erangan kecil terdengar, disertai dengan isak tangis wanita. Lama sosok itu menangis, seraya memanggil nama seseorang, “Lintang… Lintang… Lintang….”
***
“Ayo, Ayah. Cepat turun. Aku sudah tidak sabar lagi ingin melihat kamar baruku.”
“Tunggu sebentar. Kalau kamu mau lebih cepat, jangan cuma berdiri saja di sana. Ayo cepat bantu Ayah. Bawa kardus ini ke halaman depan.”
“Tapi, kan, aku ini perempuan, Ayah. Mana sanggup aku mengangkat kardus sebesar itu. Apalagi yang berisi buku-buku tebal Ayah. Bisa-bisa nanti Ayah yang akan kerepotan mengurus aku yang pingsan. Kalau sudah begitu jadinya, masalahnya tak akan selesai lebih cepat. Justru akan bertambah rumit. Ya kan, Ayah?”
“Ya sudahlah, kalau kamu tak mau membantu. Paling tidak, bantu ibumu. Kasihan beliau, sudah empat belas jam ia tak mengubah posisi duduknya karena menggendong adikmu itu. Cepat pergi sana!”
“Ya sudahlah.” Aku kemudian berjalan menuju bagian samping mobil dan membuka pintu mobil bagian kiri.
“Bu, biar aku saja yang jaga adik. Ibu istirahat saja sebentar.”
“Jaga baik-baik, ya. Jangan buat adikmu terbangun. Nanti sulit menidurkannya lagi.” Ibu segera menyodorkan tubuh adikku, yang bisa dikatakan tak kalah besarnya dengan bayi panda. Aku menyambut tubuh gempal itu dengan susah payah. Ibu segera turun dari jok mobil dan merenggangkan tubuhnya serta menarik nafas panjang, menghilangkan seluruh kepenatan yang menyesakkan dada setelah empat belas jam menahannya.
“Ayo cepat masuk. Barang-barangnya sudah selesai Ayah keluarkan semua. Dini, ambilkan kunci rumah di dalam locker mobil. Hati-hati mencarinya.” Dengan cemberut aku kemudian membuka pintu mobil lagi dan mencari kunci yang terselip di antara kotak P3K. Semenit kemudian baru aku bisa mengelurkannya dengan selamat. Ayah sudah mengomel-ngomel dari luar sana. Maklum, kalau saja Ayah bisa melakukannya, beliau pasti akan langsung melakukannya, ketimbang menyuruh anaknya ini, yang terkesan lamban dan lalai di matanya.
Seraya menjaga keseimbangan tubuh segumpal daging berbentuk yang berada di pelukanku, aku kemudian menyocokkan anak kunci dengan kedudukannya. Perlu semenit lagi untuk membuka pintu rumah baruku tersebut. Ketika selesai, aku langsung melihat ke arah Ayah dan tersenyum bagaikan tak bersalah. Muka Ayah sudah memerah, entah karena menahan amarah yang begitu kompleksnya, menahan rasa letihnya, atau menahan sakit di tangannya yang mengangkut begitu banyak barang keseharian kami.
Bruk! Aku menjatuhkan adik di sofa ruang tamu. Seketika itu juga aku terduduk lemas di lantai, merebahkan tubuh dan merenggangkannya. Tanganku mulai berdenyut kesakitan dan sedikit kesemutan karena harus menahan beban seorang bayi yang luar biasa beratnya itu. “Dini! Ayo bantu Ibu membereskan barang-barang ini. Supaya kita masih bisa membersihkan rumah sebelum maghrib.” Membersihkan rumah lagi? Astaga! Aku menepuk kening dan tidak bisa memprotes lebih banyak lagi, karena suaraku seperti sudah dibawa pergi oleh rasa letih yang melanda hingga ke tulang dan uratku.
Dengan enggan aku kemudian berdiri dan berjalan ke arah Ibu. Aku hanya tersenyum kecut melihat timbunan barang yang harus kami susun dalam waktu yang, bisa dikatakan, relatif singkat. “Ibu, aku bereskan dulu, ya, barang-barangku. Setelah itu aku baru bantu Ibu membereskan barang-barang dapur. Bagaimana?” Aku kemudian melirik ke mata Ibu dan tersenyum supaya mengiyakan permohonanku. “Ya terserah kamu saja, deh. Tapi yang cepat, ya. Kalo jadi perempuan, kerjanya jangan lelet.”
“Makasih, Bu.” Aku kemudian meraih dua buah kardus dan mendorongnya menuju sebuah ruangan di ujung sana. Ayah memberikan kebebasan memilih kamar untukku. Sebenarnya, ada empat kamar di rumah baru kami. Namun, aku sudah mengincar kamar yang terletak paling depan semenjak menggendong adik di luar tadi.
Kamar itu sudah bersih dan terasa nyaman. Pak De Rahmad telah membersihkan rumah itu dua hari sebelum kedatangan kami, agar ketika kami tiba, sudah tidak terlalu banyak pekerjaan yang menumpuk, paling-paling hanya menyapu dan mengepel. Pak De Rahmad adalah tukang kebun di rumah kami di Pekanbaru. Ayah ditugaskan untuk pergi ke sebuah desa pedalaman Riau untuk melakukan survei. Aku pun tidak tahu entah apa nama desa ini. Yang penting, aku akan menghabiskan masa liburanku di rumah baru. Setelahnya, bulan depan kami sudah harus kembali lagi ke Pekanbaru.
Aku menghempas tubuhku ke kasur yang ada di sudut kamar, menunggu beberapa saat hingga semangatku kembali lagi. Namun tak gampang mengumpulkan tenaga, karena dari tadi semenjak di jalan, aku sudah harus menahan rasa kantuk serta menjaga barang-barang yang diletakkan Ibu di sampingku, agar tidak jatuh. Jalan menuju desa ini tak begitu parah, namun walaupun begitu, kami harus tetap berhati-hati karena beratnya medan dan struktur geografis daerah ini yang tak begitu baik. Kasur itu bukanlah spring bed seperti yang ada di rumahku yang lama, hanya terbuat dari kayu dan dialaskan tilam yang sudah pudar warnanya. Aku kemudian membuka jendela dan melemparkan pandangan ke luar, melihat pohon-pohon lebat yang tumbuh di seberang rumah. Di sana, juga tampak sebuah gubuk yang gelap dan reyot. Dari jendela rumah itu, tampak sesosok wajah yang hitam sedang melihat ke arahku.
Dengan segera aku membanting jendela dan berlari keluar kamar menuju ruang tamu. “Ibu!!!!! Ada hantu!!!!” Aku menjerit-jerit ketakutan dan baru kusadari bahwa aku sudah menangis menjadi-jadi, karena rasa takut yang begitu kuatnya. Ibu terkejut sesaat mendapati anak gadisnya ini berlarian tanpa alasan yang jelas. Aku langsung memeluk Ibu dan menangis membasahi jilbab barunya. “Oaaaaa…” sekarang suara bayi yang terdengar. Aku semakin takut dan mencengkeram lengan Ibu dengan keras. “Tuh kan, Bu. Apa ku bilang. Di sini ada hantunya. Tadi ada wajah hantu dan sekarang suara bayi. Kita pulang saja! Aku sudah tak tahan lagi disini!”
Ibu kemudian menjitak kepalaku dengan cukup keras. “Anak bodoh! Lihat! Mana hantunya?! Gara-gara kamu, Rayhan jadi bangun! Makin banyak kerjaan Ibu sekarang! Dasar!” Ibu kemudian mendorong tubuhku dari pundaknya, kemudian bangkit dan menggendong Rayhan, adikku tercinta. Namun aku hanya terdiam di sana, masih diliputi ketakutan yang luar biasa, dan memilih duduk di sofa ruang tamu ketimbang berada di kamar dan melihat wajah menakutkan itu lagi.
***
Keesokan paginya, aku terbangun dan mendapati diriku masih berada di sofa ruang tamu. Ternyata aku tertidur di sana. Suasana subuh yang mencekam mendorongku berlari menuju kamar Ayah dan Ibu di belakang rumah. Tanpa mengetuk pintu lagi, aku segera mendorong pintu dan menutupnya dengan punggungku. Untung saja, bantingan pintu yang begitu keras tidak membangunkan Ayah dan Ibu. Mungkin mimpi yang mereka dapatkan lebih besar efeknya daripada bantingan pintuku itu. Aku kemudian menyelinap di bawah kaki Ibu dan tertidur disana. Bruk! Belum semenit aku tidur, aku sudah merasa didorong seseorang. Ibu kemudian bangun. “Astagfirullah al aziim… Maafkan dosaku, ya Allah…”
“Maaf, Bu. Ketiduran. Ibu sudah sholat? Ayo sholat sama-sama.”
“Hah? Sudah waktunya sholat subuh? Astagfirullah… Ayo, cepat ambil wudhu.” Ibu kemudian bangkit dari ranjang dan membangunkan Ayah untuk sholat bersama. Sebenarnya, panggilan sholat itu merupakan alasanku untuk tidak sholat sendirian. Namun, ternyata rencana refleks itu ampuh juga. Selepas sholat, aku kemudian membantu Ibu membersihkan ruang tamu dan halaman depan. Saat berada di luar, sengaja kusapu hanya pada bagian yang paling sering dilewati saja, karena ketakutan kembali memelukku saat memandang gubuk di seberang rumah.
Paginya, Ibu segera membuatkan mie instan sebagai sarapan kami. Ternyata mie yang biasa tak kugemari itu mampu meluluhkan hati sekaligus perut yang berteriak meminta diisi. Setelah itu, aku mengambil MP3 Player dari dalam tas yang kuletakkan di dapur, dan merebahkan diri di sofa. “Dini! Ayo ke sini! Bantu Ibu sebentar, Nak.” Aku menurut saja. Ibu kemudian meletakkan beberapa bingkisan yang telah dimasukkan ke dalam plastik dan siap untuk dibagikan ke tetangga. Mungkin isi bingkisan itu makanan, pikirku. “Bantu Ibu, Nak. Tolong bagikan bingkisan ini sebagai tanda perkenalan dengan tetangga kita. Ibu harus menjaga Rayhan. Ayah sedang tidur. Jadi, kamu sajalah yang pergi. Tolong ya.” Ujar Ibu tanpa melihat wajahku. “Ah, Ibu. Bagaimana kalau aku saja yang jaga Rayhan, sedangkan Ibu pergi ke rumah tetangga?” aku berusaha membujuk Ibu dengan kata-kata manis. “Aduh. Kamu jangan egois begitu, dong. Dari kemarin kam kamu belum melakukan apa-apa. Jadi, sebagai hukumannya, kamu saja yang bagikan ke tetangga, ya.” Ibu juga berusaha membujukku dengan kata-kata menis, lengkap dengan ciuman di kening. Kalau sudah begini ceritanya, aku tidak bisa berkata-kata lagi. Ya sudahlah.
“Assalamualaikum, Bu.”
“Waalaikumsalam warahmatullahi wabarakatuh. Jangan ketinggalan barang satu rumahpun, ya. Makasih, sayang.” Ibu kemudian menggendong Rayhan dan menyusuinya. Aku kemudian berdiri di depan rumah, menentukan arah yang harus kutempuh. Akhirnya kuputuskan untuk berjalan ke arah kiri dulu. Namun, langkahku kupercepat saat melewati gubuk itu. Kutekadkan untuk tidak pergi ke rumah itu. Dua jam kemudian, aku sudah kembali dengan membawa satu bungkusan terakhir. Perkiraan Ibu memang tepat, jumlah rumah penduduk di desa itu sama dengan jumlah bingkisan yang Ibu beli. Kutimang-timang bingkisan yang terkhir itu dan berjalan masuk ke rumah.
“Assalamualaikum, Bu.”
“Waalaikumsalam. Wah, bingkisannya lebih satu, ya?”
“Sebenarnya ada satu rumah lagi yang belum Andini kunjungi. Tapi, Ibu sajalah yang ke sana. Rumahnya dekat, kok. Cuma di seberang rumah. Itu tuh, gubuk yang itu.”
“Waduh, kamu ini. Masa cuma di seberang rumah saja tidak mau mengantarnya. Keterlaluan kamu, Din.” Ibu hanya menggelengkan kepala sambil mengganti popok Rayhan, kemudian menaikkannya ke punggung dan meliliti badan gempal itu dengan kain. “Tapi rumah yang satu ini beda, Bu. Pokoknya aku tak mau masuk ke sana. Ibu saja, deh, yang pergi.” “Tapi Ibu masih harus mengurusi Rayhan. Kamu sajalah. Nanti Ibu buatkan kue bolu kesukaanmu.”
Kalau sudah begini, aku kembali tak bisa berbuat banyak. Tanganku mulai gemetaran saat mengulang semua memori yang kusimpan kemarin. Bismillahirrahmanirrahiim… tanpa kusadari, kakiku mulai melangkah menuju pintu, menarik gagangnya yang sudah kasar.
“Assalamualaikum…” Deg…deg…deg…
“Assalamualaikum…” aku mengulang kembali salamku, kali ini lebih keras, berusaha untuk membangunkan telinga wanita tua itu yang barangkali sudah berkarat karena dimakan usia. Sedetik kemudian aku mendengar suara seretan langkah kaki yang berat dan menyeramkan.
“Astagfirullah… Allahu Akbar… Allahu Akbar…” jeritku dalam hati.
“Waalaikumsalam…” suara wanita itu bak petir di siang hari, terlalu berat untuk suara seorang tua. Derik pintu semakin membuat kesan angker menari dalam teriknya siang. Udara yang semula terasa hangat mulai terusir oleh semilir angin dingin yang memapah tubuhku. Wajahnya yang kasar dan besar mengingatkanku pada seorang makrosepalus yang biasa kutemui di ujung jalan menuju sekolah. Mataku seolah berpaling dari sorotan wanita itu, mencoba merangkai kata yang cocok untuk memulai sebuah perkenalan yang mungkin tak akan pernah terjalin lagi.
“Um.. permisi, kami yang baru pindah ke daerah ini. Rumah kami terletak di seberang sana. Kalau Nenek memerlukan sesuatu, nenek tak perlu segan-segan untuk ke sana. Tolong diterima, Nek.”
Bisa kutebak tak ada senyuman yang melengkung di wajahnya, yang jika kubandingkan, aku lebih suka menyebutnya kawah. Tangannya yang sudah mengelupas mulai mendekati bingkisan yang kuberikan. Ya Allah, selamatkanlah hamba-Mu ini, ucapku dalam hati.
“Terima kasih, Nak.” Bisa kurasakan kekuatannya, yang cukup untuk membuat diriku tertarik ke depan. Setelah itu, dia menghilang begitu saja, masuk ke rumahnya yang sederhana dan reot. Urat-urat kakiku sudah tak beraturan lagi, merasa cukup lega setelah melewati momen-momen yang tak jauh beda dengan cengekeraman Izrail. Aku termenung di sana, entah harus menangis atau tersenyum.
***
Suara jangkrik mulai terdengar menyelinap di antara kedamaian dan kelamnya malam. Anak-anak mulai berkumpul di lapangan dan memeriahkan kesempurnaan mahkota langit di malam hari. Ia bersinar dengan terang serta membawa keceriaan anak-anak kembali ke pangkuan mereka. Bintang-bintang yang melayang bagai mengucapkan salam hangat kepada siapa saja yang menatapnya.
Aku kembali membisu dalam kamar, membaca buku-buku milik Ibn Sina yang menjadi sebuah akar pemikiran batinku. Ayah dan Ibu pergi ke rumah ketua RT sekadar bersilaturahmi dan berkenalan dengan warga yang kebetulan lewat di sekitar sana. Merasa bosan, aku mulai beranjak menuju meja belajar dan mengeluarkan notes kecil pribadiku. Kubuka lembaran-lembaran yang telah kutulis sebelumnya, berisi tentang semua keagungan dan keajaiban bumi Allah yang maha luas ini. Entah mengapa hatiku menuntun tangan menggores tinta pena ke lembaran-lembaran catatan kecil itu…
“Goresan memori silam hanya dapat meninggalkan fragmen hati yang telah usang
Yang tersenyum samar menyembunyikan rahasia ilahi
Di antara jagad kegelapan aku mencari jati diri, menemukan diriku yang sebenarnya
Yang barangkali telah merasuk bersama sekelumit serabut noda
Dan aku mulai bertingkah bak tokoh teater di panggung kebohongan
Yang hanya tersenyum manja, padahal menjerit dalam hati
Saat disiksa di tengah jagad batin yang kelam…”
Aku terhenti sesaat, ketika mendengar suara bantingan yang cukup keras dari rumah di seberang sana. Jantungku berpacu seirama dengan derap kaki sang waktu, merangkai pikiran yang bercabang entah ke muara mana. Suara itu terdengar lagi, bahkan terasa lebih kuat. Tanganku sudah bersiap-siap meraih telepon genggam dan menelepon ayah, namun rasa penasaran lebih merajai perasaanku saat itu.
Tak perlu waktu yang cukup lama untuk mencapai gubuk di seberang rumah itu. Namun, kali ini aku mempersenjatai diriku dengan sebuah tongkat besi milik Ayah yang disimpan di dalam mobil. Bulu kuduk mulai mencengkeram kulit dan berusaha mengikuti hembusan tipis sang angin malam. Halaman depan yang sangat tak terawat disertai lembaran-lembaran daun kering dan lengkingan serangga kecil mulai menambah cekaman suasana itu. Sesaat kemudian, pintu itu berderik dan menunjukkan tanda-tanda bahwa sebentar lagi sang pemilik gubuk akan keluar. Tanpa pikir panjang lagi, langsung saja kuambil langkah seribu menuju rumah Pak RT, berlari ke dalam hangatnya pelukan Ayah dan Ibu.
***
Kabut tipis yang beraroma menari bersenda gurau dengan terangnya purnama. Aku hanya dapat menahan hawa dingin di balik kulit yang tipis. Jalanan yang terasa mendaki memperlambat

0 komentar:

Posting Komentar