Rabu, 20 Oktober 2010

Menuju Jalan-NYA



Pagi itu, cuaca kurang bersahabat. Asap-asap bercampur kabut kembali menyelubungi kotaku. Paru-paruku mulai terasa sesak dan sakit. Kupaksa mengayuh sepedaku lebih kencang lagi. Jalanan yang masih sepi membuatku merasa lega, karena ada kemungkinan gerbang sekolah belum ditutup. Para penjaja makanan di trotoar persimpangan jalan sekolah juga tak terlihat. Mungkin mereka lebih memilih untuk beristirahat di rumah ketimbang bergulat dengan kabut asap pagi ini. Harus kuakui, kabut asap pagi ini bergitu tebal, sehingga pandangan mataku tidak dapat melihat hingga jarak yang jauh. Jadi, kuputuskan untuk memperlambat kakiku mengayuh sepeda peninggalan ayahku itu. Lagipula, gerbang sekolah tak akan mungkin ditutup begitu cepat karena cuaca yang kurang mendukung transportasi,
“Selamat pagi, Pak!” sapaku pada seorang lelaki tua setengah baya, tepatnya penjaga sekolahku, Pak Edi.
“Selamat pagi, Nak!” balasnya tanpa senyum yang biasanya ia lontarkan padaku. Lelaki itu kembali mengerjakan tugasnya, menyiram bunga-bunga dan tumbuhan di sekitar gerbang sekolah. Kubelokkan sepedaku ke lapangan parkir. Di sana, hanya tampak beberapa sepeda motor milik teman sekelasku. Heran, mengapa mereka begitu cepat datang pagi ini, pikirku. Kuayunkan langkah menuju koridor sekolah, melewati ruang kepala sekolah dan tata usaha. Kusapa guru-guru dan beberapa karyawan sekolah lainnya. Tampak beberapa guru sibuk menelepon dan berlari kecil menuju ruang wali kelas. Tak seperti biasanya pagi hari tampak begitu sibuk.
Beberapa langkah lagi aku akan tiba di kelasku tercinta, ruang kecil tempat aku menerima ilmu dan binaan modal untuk masa depanku. Karena asyik melamun, aku tak melihat ada sebuah batu tepat dimana kakiku akan berpijak. Dan terjadilah hal yang memilukan itu. Luka kecil di sekitar lutut dan siku memang agak menyakitkan, namun aku tak mau ambil pusing menghabiskan waktu untuk mengurus hal kecil seperti itu. Kecil? Aku tahu luka sebesar itu dapat menimbulkan infeksi jika tidak langsung ditangani, tapi, biarlah. Sayup-sayup kudengar suara isak tangis dan bisikan-bisikan kecil dari kelasku.
Rasa takut merasuki pikiranku sejenak, mungkinkah sepagi ini hantu-hantu masih bergentayangan? Kuberanikan diri untuk berdiri. Kaki-kaki yang masih perih kupaksa menyokong tubuhku yang besar ini. Suara-suara itu kembali terdengar, bahkan lebih jelas dari sebelumnya. Aku bersandar pada dinding dan menunggu rasa sakit segera menjauh, sembari kudengar suara-suara yang makin lama makin terdengar seperti percakapan.
“Sudahlah, anak-anak. Mungkin ini sudah ditakdirkan Tuhan untuknya dan untuk kita semua. Lebih baik nanti, sepulang sekolah, kita atur lagi waktu kita untuk menjenguk Arga.”
“Arga? Menjenguk?” aku agak terkejut ketika guruku menyebutkan nama Arga.
“Satu hal lagi, anak-anak. Ibu mohon kalian tidak menceritakan hal ini kepada Ridwan dulu. Sepertinya dia tak akan siap untuk menerimanya sekarang. Ibu takut akan terjadi hal-hal yang kurang baik. Assalamualaikum,” lanjutnya.
Bagaikan dibantu oleh para malaikat, aku berjalan dengan menyeret kaki yang masih sakit. Saat aku hendak menyentuh gagang pintu kelas, beliau sudah lebih dulu membuka pintu.
“Ridwan?” ekspresi muka guruku berubah seketika, antara terkejut dan cemas, “cepat sekali kamu datang hari ini?”
“Ceritakan, Bu! Ada apa dengan Arga?”
Bu Rahmi mulai terlihat bimbang. Tangannya sibuk memainkan jemari-jemari kecilnya. Nafasnya sudah tak beraturan lagi, seperti sedang menahan tangis. Sesaat kemudian, beliau menarik tanganku, dan melangkah menuju ruang guru.
***
Uap dari teh yang disajikan oleh Bu Rahmi sudah mulai berkurang jumlahnya, namun aku masih belum menyentuhnya sama sekali. Bu Rahmi masih menggenggam saputangan yang digunakannya untuk menyeka wajahku.
“Ridwan?” Mulutku seakan terkunci dengan erat, tak memedulikan Bu Rahmi yang kini menggoncangkan tanganku, menyadarkanku dari lamunan.
“Ridwan? Tolong jawab Ibu, Nak. Ibu tahu ini adalah cobaan yang sangat berat buat kamu, tapi kamu harus selalu ingat pada Tuhan, berdoa dan berpasrah. Ibu yakin Tuhan tak akan memberikan cobaan yang begitu berat buat kalian berdua, juga buat kita semua.”
Air mataku menetes tiba-tiba, setelah berapa lama kucoba untuk menahannya. Tangisku seakan-akan sudah siap meluncur. Syukurlah, Bu Rahmi mengerti situasinya, dan beliau menyerahkan lagi saputangan putihnya ke arahku. Mata Bu Rahmi kini mulai berkaca-kaca, entah sedih memikirkan keadaan Arga, atau malah bingung memikirkan cara untuk menenangkanmu.
“Sekarang pulanglah, Ridwan. Cepat atau lambat engkau akan mengerti.”
Aku segera menarik ranselku dari kursi disebelahku. Aku berlari kecil tanpa mengucapkan salam sebelumnya. Tepat setelah aku sampai di muka pintu, aku berbalik badan dan menatap Bu Rahmi sejenak.
“Bu…”
“Ya, Nak?”
Kini aku tak kuasa menahan haru dan air mata lagi. Kulempar ranselku seketika dan berlari ke arah Bu Rahmi. Disana, beliau sudah mengulurkan tangannya, bersiap menerima pelukanku untuk menangis sejadi-jadinya. Air mataku membasahi ujung jilbab Bu Rahmi. Tangannya yang hangat sibuk membelai rambut dan punggungku, membantu mencoba menghentikan tangisku.
“Sudahlah, Ridwan, pulanglah, engkau kelihatan sangat pucat sekarang. Atau Ibu akan meminta Pak Erdo untuk mengantarmu pulang dan menjelaskan semuanya pada ibumu, bagaimana?” Aku melepaskan pelukanku dari tubuh Bu Rahmi. Entah mengapa aku menggeleng tanda tak setuju, padahal di dasar hatiku aku menjerit, memohon ada orang yang dapat menemaniku, apalagi Pak Erdo, guru pengajar bimbingan konseling yang favorit di kalangan siswa, mempunyai segudang trik penyelesaian masalah, yang akan mengantarkanku pulang dan mencari jalan keluar dari masalah ini.
Kutatap lagi wajah Bu Rahmi. Air mata mulai menetes satu persatu dari sudut ekor matanya yang indah. Kucium tangannya dan segera berlalu dari ruangannya. Di jalan, entah sudah berapa pengendara yang memaki dan mengutukku karena aku menghambat jalan mereka dan ingin menabrakku. Di pikiranku hanya terlintas bayangan selang-selang yang kini mungkin sudah bertambah jumlahnya, terpasang di seluruh bagian tubuh Arga.
Aku mengenal Arga ketika kami bersama-sama diutus oleh pihak sekolah untuk mengikuti lomba cerdas cermat sekolah berprestasi se-Indonesia. Aku dipilih untuk mewakili bidang studi fisika, sementara Arga ditunjuk untuk memegang bidang kimia. Aku sangat heran, mengapa aku yang serba tak bisa ini dapat terpilih menjadi duta sekolahku untuk terjun ke iven sepenting itu. Namun, dialah, Arga, malaikat yang diutus untuk menjaga dan mengajarkanku berbagai macam hal, dia mahir dalam bidang fisika dan kimia, pemikirannya sangat luas dan suka mencari sesuatu yang menantang, selain itu, kami sering mendiskusikan hal-hal yang berbau agama, karena harus kuakui, aku sudah lama tertarik mempelajari Islam dan ingin menjadi pengikut Nabi Muhammad SAW. Arga tidak pernah marah akan setiap pertanyaan yang kupikir menjengkelkan dan bahkan dapat dikatakan tidak berguna. Ia selalu menjabarkannya secara terperinci dan bisa diterima dengan akal sehat, apalagi kalau kami sudah menyangkut urusan agama. Arga memang orang yang taat.
Sejak itulah aku mulai dekat dengannya. Kami saling berbagi dan menjaga rahasia. Bahkan, kami sering pergi ke bukit belakang sekolah untuk bercerita atau sekadar menghabiskan waktu dan meninggalkan segala kepenatan setelah menguras otak seharian. Kami mempunyai sebuah pohon yang kami beri nama “Pohon Harapan”,dimana kami menggantungkan harapan kami di dahannya, agar kami bisa saling mengingatkan dan mendukung sehingga cita-cita dan impian kami dapat tercapai.
Pohon haparan? Aku tertegun di tengah jalan lagi. Di belakang, sudah ada seorang pengendara motor yang berteriak ke arahku. Aku mengelak dan membiarkannya lewat. Sesudah itu, aku berbalik badan dan mengambil jalan pintas menuju bukit belakang sekolah. Sudah sekian lama aku tak menggantungkan harapan dan doaku di ranting pohon yang rindang itu. Dan aku dibuat tertegun oleh pemandangan yang baru ini. Pohon itu seolah hidup lagi dengan beranekaragam kertas berwarna-warni yang digantung pada setiap dahan. Barangkali hanya ulah anak SD yang lewat saja, pikirku. Aku duduk di singgasana yang biasa kutempati, melempar pandangan ke arah kota yang sudah terlihat kecil. Lalu aku memutuskan untuk berbaring dan memandang langit. Saat itu juga secarik kertas berwarna putih jatuh tepat diatas dadaku. Kuambil dan kubaca dengan seksama.
“…tak seorangpun tahu kapan ia akan bertemu dengan utusan Allah yang mencabut nyawanya. Tak seorangpun tahu sampai detik keberapa ia akan hidup. Tak seorangpun juga yang tahu sampai di kilometer keberapakah ia akan melangkah. Banyak orang yang mati dalam pelukan senja, buaian pagi, bahkan teriknya siang. Banyak orang yang telah berpulang menghadap-Nya dan harus kita sadari, kita semua akan menyusul mereka sesegera mungkin. Allah, jika sudah waktunya engkau menarik jiwaku, kuatkanlah hatiku untuk berpasrah pada-Mu, sehingga aku dapat merasakan indahnya rahmat-Mu di akhir hidupku…”
Aku segera bangkit. Angin sepoi-sepoi betiup melambaikan rambutku. Kubongkar semua memori otakku, dan akhirnya aku menyadari bahwa tulisan itu adalah goresan tangan Arga. Kusambar tas dari tanah dan berlari secepat mungkin ke rumah sakit untuk menemui Arga.
***
Dia kelihatan sangat lemah tak berdaya. Ia merelakan dirinya dipasangi berbagai macam selang dan beragam cairan obat-obatan. Kanker otak stadium empat telah merenggut masa depannya. Kini dia hanya dapat terbaring dan menunggu malaikat menjemputnya. Aku duduk di sebelahnya, menghitung setiap nafas yang ia hembuskan, terdengar begitu berat dan tersiksa. Tangannya sudah kering dan rambut-rambut sudah tak terlihat lagi di kepalanya.
“Arga, aku datang menjemputmu.” Tak ada jawaban. “Bukalah matamu, Arga, ayo kita pulang. Kau tak cocok berada di tempat seperti ini. Ruang ini hanya untuk orang-orang yang sakit. Kau tak sama seperti mereka, kau berbeda, kau masih sehat. Ayolah, Arga, bangun dan kemasi barang-barangmu!” aku mulai berteriak-teriak, tak peduli entah dia mendengar atau tidak. “Arga!!!” kulempar kertas yang tadi kutemukan di atas bukit. “Kalau kau tidak juga bangun, jangan harap kita bisa berteman seperti kemarin lagi!” Hanya ada suara detak jam dan alat pengukur denyut jantung. Aku menjerit sekali lagi dan berlari menuju koridor.
Brak! Aku membanting pintu kamar sekeras mungkin, melampiaskan segala kekesalan dan kesedihanku. Kulempar tubuh ini ke atas ranjang dan disanalah, aku menangis sepuasnya, hingga aku benar-benar merasa lelah dan tak sadarkan diri.
“Ridwan, ayo bangun. Ada telepon dari mamanya Arga. Katanya ini persoalan penting, ayo cepat! Beliau sedang menunggu kamu,” dengan keras Ibu menggedor pintu kamarku, berusaha membuatku terjaga. Aku tersentak dan melihat ke arah jam. Sudah jam 9 malam! Aku bangkit dengan lemah dan keluar menuju ruang tamu.
“Halo, Tante?.....Apa?!” tanpa pikir panjang aku segera menarik jaket biru tuaku yang sudah kumal dari sofa ruang tamu. “Ma, aku pergi dulu. Aku mau melihat Arga di rumah sakit. Akhirnya dia siuman!” Sepatu yang kukenakan kurang sempurna, namun aku tak menggubrisnya sedikitpun, malah aku ingin melempar sepatu itu jauh-jauh dan berlari menuju halte, mengejar bus yang akan membawaku ke rumah sakit.
“Tante, Arga dimana?” aku melihat mama Arga yang sedang duduk di koridor tepat di seberang kamar Arga. “Wan, tadi Arga sempat siuman dan mencarimu. Dia tetap bersikeras untuk meminta Tante mendatangkanmu.” “Sekarang Arga ada dimana, Tante?” Mama Arga terdiam sesaat.
“Dokter mengatakan bahwa kesadaran dia barusan akan memperparah keadaannya. Jika dalam seminggu ini ia kembali koma dan masih belum dapat membuka matanya dan berbicara seperti sediakala, maka ia akan meninggalkan kita semua…” Tangis mama Arga pecah seketika. Aku segera duduk di sebelahnya.
“Tante, Arga itu orangnya kuat dan tegar. Dia tak mungkin meninggalkan kita secepat itu. Arga pasti bisa melewatinya. Kita bisa berkumpul bersamanya lagi, tertawa bersama,…” ucapanku terhenti sesaat ketika melihat dokter yang merawat Arga keluar. Kami segera bangkit menghampiri dokter itu.
“Saya tidak dapat membantu banyak, Bu. Pernyataan saya yang tadi sepertinya sudah cukup untuk mengganbarkan keadaan Arga sekarang. Kita hanya membutuhkan pertolongan-Nya dari atas sana.”
Tanpa memedulikan perkataan dokter itu, aku segera menyerobot masuk ke kamar Arga. Kini selang-selang itu sudah mulai bertambah dengan beberapa bekas suntikan di sana-sini. Kuraih tangan sahabatku yang lemah itu, menciumnya dan berdoa, “Ya Tuhan, kuatkanlah hati kami, berikan bantuan-Mu untuk temanku ini. Dia sudah cukup menderita. Limpahkanlah belaskasihan-Mu ini untuk kami, Tuhan… sembuhkanlah ia dari penyakit ini, ini sudah terlalu berat untuk ia terima…” Aku menangis tersedu-sedu menciumi tangan Arga. Aroma obat sudah mulai menguasai seluruh organ tubuhnya. Cairan infus mengalir setetes demi setetes ke tangannya yang kaku.
Aku merasakan ada seseorang yang membelai daguku. Arga! Dia sadar lagi! “Arga? Kau sudah siuman? Akan kupanggilkan dokter sebentar.” Aku telah bersiap menekan bel di atas ranjangnya, sebelum ia menarikku lebih kuat dari sebelumnya. “…Wan…” suaranya yang parau begitu menyayat hatiku, mencabiknya menjadi serpihan kecil, yang kini menyadarkanku akan umurnya yang pasti tak akan lama lagi. “Ya?” balasku. “…Aku… minta… maaf…” ia berbicara terbata-bata. “Aku… tak pernah… memberitahumu bahwa… aku sudah mengidap… penyakit ini sejak lama..” nafasnya tersedak sampai di situ.
“Tante, tante!!” aku berteriak memanggil mama Arga. Beliau kemudian masuk dengan setengah berlari. “Astaga, Arga! Alhamdulillah, akhirnya kamu sadar, Nak. Ini benar-benar suatu mukjizat. Tunggu sebentar, Arga, mama akan memanggil dokter!” Setelah mencium kening Arga, mama Arga segera keluar, dan berteriak sekencangnya memanggil sang dokter.
Kukembalikan wajahku ke arah Arga. Dia sedang menatapku dengan matanya yang cekung. Aku dapat melihat begitu besar dan dalamnya penderitaan yang harus ditanggungnya. Namun itulah Arga, sahabatku, yang selalu berdiri dan berusaha untuk menjadi kuat ketika diterpa masalah yang akan menyeretnya jauh.
“Aku tak pernah menyalahkan engkau jika tidak pernah memberitahukan hal ini kepadaku, Arga. Tapi sebagai teman yang telah lama mendampingimu, minimal kamu mengatakan sedikit dari permasalaan ini kepadaku, agar aku dapat membantumu keluar dari penyakit ini…” aku mulai berbicara terisak-isak. “Aku… aku tak mau merepotkanmu, Wan. Kau sudah cukup lama membantuku, menemaniku ketika aku sedang butuh teman. Itu sudah lebih dari cukup bagiku, dan sekarang aku tak mau membawamu ke masalah yang lebih dalam lagi.” Suara Arga terdengar parau menahan tangis agar suaranya terdengar lebih jelas.
“Dan sekarang, apakah kau dapat melihat betapa tertekannya aku mendapatkanmu terkena penyakit kanker otak stadium akhir? Bukankah sekarang kau lebih merepotkan aku lagi? Arga… Arga, kau…” Aku tak dapat melanjutkan ucapanku, malah sebaliknya aku langsung memeluknya dan menangis di atas tubuhnya yang hangat dan lemah. Ia berusaha kuat memelukku dan mengembalikanku ke keadaan semula. Diusapnya kepalaku dan mendorong kecil tubuhku guna mengumpulkan celah untuk berbicara.
“Wan, kau tahu apa yang kulihat ketika aku koma kemarin? Aku melihat kita bertemu di suatu tempat, yang begitu indah, berdua menghabiskan waktu, bergurau bersama angin dan kicauan burung merpati, begitu terang dan tentram. Aku ingin mimpiku itu segera terwujud, selalu bersamamu dalam suka maupun duka, menjelajahi Bumi Allah yang maha luas ini, mengagumi keindahan-Nya dan bersyukur atas apa yang kita terima. Asalkan kita bisa bersabar dan mengikhlaskan diri kepada-Nya, derajat keimanan kita sudah bertambah, jumlah pahala kita bertambah, dan kita dapat selalu lebih dekat dengan-Nya.” Tangan Arga menggenggam lenganku lebih keras dari sebelumnya.
“Ga, aku pasti akan selalu mengingat hal itu. Yang penting kamu bisa sembuh. Hanya itu yang paling penting sekarang.” “Kurasa sebentar lagi para malaikat akan menarik rohku dari tubuh ini. Aku tak dapat berbuat apa-apa lagi. Hanya engkaulah yang bisa kupercaya sekarang. Dengarkanlah aku baik-baik.” Selama beberapa saat kami terdiam, hanya isak tangis kami yang bisa menyembuhkan luka yang sudah terlanjur terukir di hati kami berdua.
“Entah sudah berapa banyak dosa yang kuperbuat selama hidupku. Entah sudah berapa banyak orang yang telah kusakiti perasaannya. Entah sudah berapa banyak jiwa yang telah kurusak. Dan aku tak bisa mengembalikannya sepeti semula, semuanya. Hanya engkau yang bisa melakukannya untukku, Wan. Kau tahu, ketika aku masih kecil, aku telah ditinggal oleh ayahku, ayah yang menciptakan tubuhku dari darah dan dagingnya sendiri. Saat aku tumbuh, aku mulai mengenal berbagai macam hal, berdiri, belajar, menyayangi. Ketika aku membutuhkan ucapan seorang teman, hanya engkau yang mengerti dan bisa menjadi ayah dan juga teman sejati sekaligus. Aku sungguh beruntung dikaruniai seorang malaikat sepertimu, Wan.” Tangis kami pecah lagi, bahkan suara-suara hewan malam yang biasa berbunyi tak lagi terdengar.
“Wan, setelah aku pergi nanti, menghadap penciptaku, aku ingin engkau menjaga ibuku, orangtua satu-satunya yang kukenal, yang mendewasakan aku dengan figur seorang ayah dan seorang ibu, yang mengenalkan arti indahnya dunia dan makna hidup yang sebenarnya. Dan datu lagi, Wan… aku ingin engkau selalu mengingat persahabatan kita, ketika kita saling berbagi bahagia maupun kepahitan, ketika kita saling mengingatkan apa yang telah kita perbuat, ketika…” Nafas Arga mulai tertekan. Firasatku sungguh tak tenang, merasakan kehadiran aura yang tidak baik.
Tepat saat itu, sang dokter datang bersama beberapa orang perawat. Wajah mereka menunjukkan ketegangan yang luar biasa, pucat, seakan mati. Kami segera menarik langkah dari kamar itu, memberikan segenap harapan kepada sang dokter. Jarum jam terasa berjalan begitu pelan, memperdengarkan setiap lentingan gerakannya di telinga kami. Suasana di koridor itu sungguh mencekam dan penuh dengan kegelisahan.
Selang beberapa saat kemudian terdengar suara engsel pintu yang dibuka. Berdirilah sang dokter itu di sana. Spontan kami langsung berlari menghampirinya.
“Ibu, Nak, kuatkan hati kalian.” Dokter itu melihat ke arah kami berdua bergantian.
“Maksud Dokter? Cepat katakan, Dok! Jangan buat kami cemas!” Mama Arga tampak sangat marah dan gelisah, berusaha mengumpulkan sisa tenaganya yang telah terkuras, hingga tampak jelas garis-garis penderitaan di wajahnya.
“Maaf, anak Ibu tidak dapat kami selamatkan. Kami sungguh menyesal. Keinginan Tuhan memang tak bisa diubah. Kita semua harus tegar menghadapi kenyataan ini.” Dokter itu pun kemudian berlalu setelah mengucapakan salam kepada kami.
Hanya tinggal kami berdua saja yang berdiri mematung di sana, berpelukan dalam tangis yang kian menghangat, menitikkan satu demi satu butir kenangan yang tertinggal. Tubuh Arga didorong keluar dengan sebuah tandu. Wajahnya terlihat sangat pucat. Aku tak tahan lagi melihat wajah dia! Tidak, Tuhan! Aku tidak kuat! Sontak aku kemudian berbalik dan berlari meninggalkan jasad Arga dan mamanya yang memeluk tubuh mati Arga. Jeritan pilu dari mulutku seakan belum cukup untuk mengembalikan roh Arga kembali ke tubuhnya lagi. Dan aku masih belum berani menatap jasad Arga sekalipun aku sudah jauh berlari meninggalkan dirinya. Terlalu menyakitkan untuk melihatnya dengan mata kepalaku sendiri…
***
Tak ada yang kukerjakan pagi hari itu, selain membuang pandangan keluar jendela kamar, menatap jalanan depan rumah yang basah disiram hujan. Hari itu adalah hari pemakaman Arga dan seharusnya aku sudah berada di sana, mengantarkan sahabatku itu menuju rumah terakhirnya, tempatnya bersiap dan menunggu untuk dibangunkan kembali oleh sangkakala malaikat di akhir waktu. Seharusnya aku sudah mengucapkan selamat beristirahat padanya. Seharusnya aku sudah menabur bunga dan berdiam memainkan tanah makam Arga, yang akan selalu setia menemaninya hingga waktu usai.
Ibuku menyilangkan tangannya ke pundak aku, meremas sedikit untuk membuatku tersadar dari lamunan yang panjang. Tak kubalas sedikitpun pandangannya, malah makin mendalam menerawang ke arah jalan yang sudah kosong melompong. Akhirnya beliau angkat bicara, “Ayo, Wan, sudah saatnya makan. Kamu malah akan sakit jika terus begini.” Aku masih saja membisu. “Baiklah, Ibu akan bilang pada mamanya Arga kalau kamu tidak mau berbicara.” Mama Arga? Aku tersentak sebentar, meyakinkan diriku yang baru mendengar ucapan Ibu itu.
“Mama Arga?” Dengan segera aku turun dari tempat tidur dan berjalan lemah menuju telepon. Kini aku baru menyadari bahwa aku belum makan sejak kemarin siang. “Halo?” sapaku. “Halo, Wan. Bagaimana keadaanmu? Tante perlu bicara denganmu. Mungkin kamu bisa datang ke rumah Tante sekarang.” “Ada apa, Tante?” “Ada yang harus Tante beritahu. Ini tentang Arga. Tante mohon kamu datang secepat mungkin, ya. Makasih, Wan.” Tanpa menunggu jawaban dariku, beliau langsung menutup gagang telepon. Aku langsung menyambar jaket yang biasa kupakai, tapi langsung dicegat Ibu. “Makan dulu, atau kamu tak akan keluar?” Aku tak punya pilihan lain, ya, memang, perut ini telah melakukan aksi unjuk rasa besar-besaran, menghancurkan setipis demi setipis dinding lambungku. Kuselesaikan makan siang, yang sebenarnya tidak tepat lagi jika dikatakan siang, dan segera berlari mengayuh sepeda ke rumah Arga.
“Wan, Tante menemukan surat ini ketika membereskan barang-barang Arga dari kamarnya. Tante sudah memutuskan untuk mengikhlaskannya menghadap Allah, dan Tante tidak mau selalu memikirkannya setiap saat, karena Tante tahu kalau Arga pasti sudah ditemani oleh malaikat-malaikat di sana. Walaupun begitu, Arga masih anak tunggal Tante yang paling Tante cintai.” Mata beliau mulai berkaca-kaca, mungkin pemakaman tadi masih membekas di hatinya.
“Tante, terima kasih banyak. Kalau begitu, sebaiknya aku pergi dulu ke makam Arga. Tadi siang aku belum sempat mengucapkan selamat tinggal padanya.” Aku memegang tangan mama Arga dan mengangguk perlahan. Kemudian, kembali kukayuh sepedaku tanpa tujuan yang pasti. Kubongkar lagi semua memori otakku dan kuharap Arga sedang berada di sana sekarang, di bukit belakang sekolah.
Benar dugaanku. Setelah kuletakkan sepedaku di tanah, aku berlutut di samping makam Arga. Makam itu masih basah, entah karena siraman hujan atau bekas prosesi tadi pagi. Kuambil segenggam tanah dan menaburkannya ke tengah taburan bunga. Aku melihat ke segala penjuru sejenak, kemudian membuka surat yang diberikan mama Arga. Di sampul surat itu memang tertulis namaku, namun huruf-hurufnya sudah mulai kabur.
“Memang sulit menerima keadaan yang seharusnya tak kaurasakan. Terasa berat ketika engkau mendapati dirimu ditengah lautan aroma kematian yang mulai menarik dirimu ke arahnya. Namun hanya dengan menerimanyalah, aku akan menjadi kuat, karena aku hidup untuk-Nya dan aku akan mati untuk-Nya. Hanya untuk-Nya. Allah, jika ini yang Engkau kehendaki, ambillah diriku untuk menyadarkan kami yang berlumur noda dosa yang tak Kau cintai ini… Ambillah diriku agar kami menyadari betapa agungnya Engkau ketika membuat dan menarik kami… Sadarkanlah kami dari belenggu ini, ya Allah. Bimbing langkah kami agar selalu berjalan di jalan-Mu… Amin…”
Tak terasa satu demi satu bulir air mata kembali membasahi pipiku. Kutatap sebentar makamnya dan kucium batu nisannya, yang beraroma keindahan setiap kebaikan yang dilakukan Arga. Aku segera bangkit dan menuruni bukit itu. Sekilas aku berbalik dan berbisik perlahan di dalam hati, “Terima kasih, Arga. Kau selalu menenangkanku, membimbingku menuju keagungan Tuhan. Arga…”
***
Tiga tahun telah berlalu dan aku kembali mengunjunginya, mendatangi rumahnya yang kecil namun tenang itu, kembali bersilaturahmi dengan membawa diriku yang baru, yang terlahir kembali menjadi seorang muslim sejati. Tak lupa kubeli beberapa bunga segar untuk menemaninya. “Assalamualaikum, Arga. Maaf sudah lama aku tak mengunjungimu, membersihkan rumahmu yang tentram ini,” aku mengusap tanah makamnya yang tak rata. “kau tahu, Ga? Akhirnya aku berhasil mencapai cita-citaku, mewujudkan impianmu, dan menjadi pengikut-Nya yang setia. Aku telah menjadi seorang muallaf…” senyum yang menunjukkan kebanggaanku terlukis dari wajahku yang kini tampak segar. “Kita akan bertemu di sana suatu hari nanti.” Aku kemudian menabur bunga dan berdiri, menatap pohon harapan kami yang menjulang tinggi di hadapanku. Angin yang bertiup perlahan membelai wajahku seakan membawa jawaban, “Ya, kita pasti akan bertemu lagi.” (sk)

0 komentar:

Posting Komentar